JABAR CIREBON

Karesidenan Cirebon
Karesidenan Cirebon atau bekas Karesidenan Cirebon yaitu wilayah administratif pemerintahan zaman Hindia-Belanda yang meliputi wilayah bekas kesultanan Cirebon dengan pembagian :
Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon
Kabupaten Indramayu
Kabupaten Majalengka
Kabupaten Kuningan


I. KOTA CIREBON

II. KAB CIREBON

III. KAB INDRAMAYU

1. MASJID AGUNG
Masjid Agung Indramayu Simbol Kejayaan Islam di Pantura
TRANSPORTASI dan perdagangan di Kabupaten Indramayu pada zaman dulu, terutama di era kolonial Hindia-Belanda pada tahun 1900-an, tertumpu di sepanjang aliran Sungai Cimanuk. Melalui jalur itulah, tata niaga lokal terkonsentrasi, dan menjadi pusat perekonomian terpenting di kawasan pantura kala itu. Perdagangan beras dan komoditi pokok masyarakat lainnya, seperti jagung, palawija, rempah-rempah, dan lain-lain, setiap harinya dilakukan oleh masyarakat pribumi maupun pendatang dalam suasana kekeluargaan. Tingginya intensitas perdagangan pada saat itu membuat sebagian besar warga pribumi yang beragama Islam, berinisiatif membangun sebuah langgar atau musala dengan ukuran kecil mungil. Saat itu tahun 1937, langgar terletak di tepi Sungai Cimanuk. Tujuan dibangunnya langgar tersebut untuk memberikan sarana beribadah bagi penganut agama Islam di kawasan tersebut. Keberadaan langgar yang saat itu belum bernama, cukup membantu ibadah masyarakat Indramayu, serta sejumlah pedagang asal Cina atau Tiongkok yang kerap menjalankan aktivitas niaga di sana. Seiring perkembangan waktu, langgar kecil tersebut mulai dipugar, dan dibangun secara gotong royong oleh masyarakat setempat. Pemugaran langgar tersebut tidak terlepas dari peran sentral seorang mualaf asal Tiongkok bernama Tjoe Teng. Tanah seluas 1 hektare milik Tjoe Teng yang terhampar di sisi langgar tersebut, dihibahkan secara sukarela untuk kepentingan pembangunan langgar. Bahkan Tjoe Teng yang saat itu sangat terkenal sebagai juragan atau saudagar kaya dengan berbagai jenis usaha baik beras maupun komoditi lainnya, ikut menyumbangkan sebagian rezekinya untuk pemugaran hingga pembangunan langgar. Tjoe Teng pun menurut sejumlah saksi sejarah saat itu, memiliki komitmen yang cukup besar untuk membangun tempat ibadah yang representatif, meski ia merupakan mualaf atau pemeluk baru agama Islam. Sikap dermawan sang mualaf asal Tiongkok ini membuat warga pribumi sangat menghormatinya, dan menganggap Tjoe Teng sebagai penduduk pribumi, bukan seorang pendatang dari negeri Tiongkok. Bahkan oleh warga setempat, Tjoe Teng sering disebut-sebut sebagai tokoh dermawan "Riwayat pembangunan Masjid Agung Indramayu tidak terlepas dari peran Tjoe Teng yang menghibahkan tanah miliknya, dan membangun langgar menjadi masjid," ungkap pengurus DKM Masjid Agung Indramayu, Saprudin. Selain mendapatkan bantuan dari Tjoe Teng, sang saudagar kaya, masyarakat sekitar pun ikut membantu baik dengan tenaga maupun materi. Pokoknya, saat itu kepedulian masyarakat setempat sangat tinggi untuk membangun sarana ibadah tersebut. Singkat cerita, setelah dibangun secara gotong royong, Masjid Agung Indramayu pun berdiri cukup besar di zamannya. Bahkan, Masjid Agung Indramayu menjadi pusat ibadah kaum muslimin dan muslimat Indramayu dalam menjalankan ibadah. "Bahkan, setiap tahunnya, Masjid Agung menjadi tempat salat ied bagi sebagian masyarakat Indramayu," katanya. Budayawan Indramayu, Fuzail Ayad Syahbana, menjelaskan, berdasarkan sejumlah saksi sejarah Masjid Agung berupa foto-foto tempo dulu yang diperolehnya dari kantor arsip Hindia Belanda, Masjid Agung memiliki satu ciri khas pada konstruksi bangunannya yang mirip Masjid Demak. Fuzail Ayad menambahkan, penyebaran Islam di Jawa tidak terlepas dari peran Wali Songo. "Kecenderungan tersebut sangat kuat dari arsitektur bangunan Masjid Agung Indramayu yang menyerupai Masjid Demak hingga saat ini," tuturnya.(Odox/"KC") http://kabar-cirebon.com

IV. KAB MAJALENGKA


V. KAB KUNINGAN

I. GEDUNG PERUNDINGAN LINGGAJATI
Daerah ini menjadi bersejarah karena dijadikan tempat perundingan Indonesia dan Belanda pada tahun 1946 yang melahirkan Perjanjian Linggajati. Gedung Perundingan Linggajati terletak di Desa Linggajati, Kecamatan Cilimus, sekitar 14 kilometer dari Kota Kuningan atau 26 kilometer dari Kota Cirebon. Desa Linggajati berada pada ketinggian 400 meter di atas permukaan laut. Desa ini sebelah selatan berbatasan dengan Desa Linggarmekar, sebelah utara berbatasan dengan Desa Linggarindah dan di sebelah barat berbatasan dengan Gunung Ciremai. Gedung yang berada di Desa Linggajati ini pernah menjadi tempat perundingan pertama antara Republik Indonesia dengan Belanda pada tanggal 11-13 November 1946. Dalam perundingan itu, Pemerintah RI diwakili oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir, sedangkan Pemerintah Kerajaan Belanda diwakili oleh Dr. Van Boer. Sementara yang menjadi pihak penengah adalah Lord Killearn, wakil Kerajaan Inggris. Perundingan tersebut menghasilkan naskah perjanjian Linggajati yang terdiri dari 17 pasal, yang selanjutnya ditanda-tangani di Jakarta pada tanggal 25 Maret 1945. Peristiwa perundingan yang berlangsung tiga hari itu ternyata merupakan satu mata rantai sejarah yang mampu mengangkat nama sebuah bangunan mungil di desa terpencil itu menjadi terkenal di seluruh Nusantara, bahkan di pelbagai penjuru dunia. Bangunan itu kemudian dipugar oleh pemerintah tahun 1976 dan dijadikan sebagai bangunan cagar budaya dan sekaligus objek wisata sejarah.

Data Bangunan
Gedung Perundingan Linggajati saat ini berdiri di atas areal seluas sekitar 24.500 meter persegi, dengan luas bangunan sekitar 1.800 meter persegi. Bangunan tersebut terdiri atas: ruang sidang, ruang sekretaris, kamar tidur Lord Killearn, ruang pertemuan Presiden Soekarno dan Lord Killearn, kamar tidur delegasi Belanda, kamar tidur delegasi Indonesia, ruang makan, kamar mandi/WC, ruang setrika, gudang, bangunan paviliun, dan garasi.
Sebagai catatan, ruangan dan segala perabotan yang ada di dalam gedung pada tahun 1976 (saat dipugar oleh pemerintah), dibuat sedemikian rupa agar data dan suasananya sedapat mungkin sama pada seperti tahun 1946 (sewaktu perundingan dilaksanakan). Selain itu, di dalam gedung juga dilengkapi dengan gambar/foto situasi saat perundingan berlangsung dan bahan-bahan informasi lain bagi pengunjung.
Gedung Linggajati mempunyai sejarah yang panjang. Sudah banyak peristiwa yang ia saksikan di tempat itu. Sebab, dari tahun 1918 gedung ini telah berkali-kali beralih fungsi. Pada tahun 1918 gedung ini hanya berupa sebuah gubuk milik Ibu Jasitem yang kemudian diperisteri oleh Tuan dari Tersana, seorang Belanda. Tahun 1921 dirombak dan dibangun setengah tembok dan dijual kepada van Oos Dome (van Oostdom?). Tahun 1930 diperbaiki menjadi rumah tinggal keluarganya. Tahun 1935 dikontrak oleh van Hetker (van Heeker?) yang merombaknya lagi menjadi Hotel Rustoord (Rusttour?). Tahun 1942 direbut oleh Jepang dan diubah menjadi Hokai Ryokai (Hokai Ryokan?). Tahun 1945 direbut oleh pejuang kita untuk markas BKR dan diubah namanya menjadi Hotel Merdeka. Tahun 1946 di Hotel Merdeka berlangsung Perundingan Linggarjati. Tahun 1948 untuk markas tentara Kolonial Belanda. Tahun 1949 dikosongkan. Tahun 1950-1975 untuk Sekolah Dasar Linggarjati I. Kemudian, tahun 1977-1979 bangunan yang sudah bobrok itu dipugar oleh pemerintah kemudian dijadikan sebagai muesum memorial.

2. PASEBAN TRI PANCA TUNGGAL
Tepatnya di Jalan Raya Cigugur No. 1031 Kec Cigugur, Kab Kuningan terdapat cagar budaya nasional Gedung Paseban Tri Panca Tunggal. Gedung anggun bercat putih dengan deretan jendela besar sepanjang dindingnya.
Paseban Tri Panca Tunggal didirikan tahun 1860 oleh Kiai Madrais, nama yang dikenal luas oleh masyarakat Jawa Barat sebagai pemimpin aliran agama Djawa Sunda atau adat cara Karuhun Urang atau Sunda Wiwitan, aliran kepercayaan terhadap ajaran leluhur masyarakat Sunda. Aliran penghayat yang tidak memeluk satu pun agama di Indonesia. Di tempat inilah cucu Kiai Madrais, Djatikusumah, mukim bersama keluarganya (40 orang termasuk Emilia sang istri, delapan orang anak kandung, dan puluhan anak asuh), meneruskan ajaran leluhur. Sejak tahun 1970-an, Paseban Tri Panca Tunggal ditetapkan sebagai cagar budaya nasional. Setiap tahun, yakni tanggal 18 hingga 22 Rayagung menurut penanggalan Sunda, ratusan orang datang ke tempat ini merayakan rangkaian acara Seren Taun, ungkapan rasa syukur masyarakat agraris Sunda terhadap Gusti Yang Widi Wasa atas hasil panen. Meski acara ini awalnya diadakan masyarakat penghayat agama Djawa Sunda namun semakin lama semakin beragam umat yang ikut merayakan, komunitas multiagama. Yang datang juga bukan hanya masyarakat Kuningan, namun ikut pula utusan masyarakat Baduy Kanekes Banten, Dayak Losarang Indramayu, Ciptagelar Sukabumi, Kampung Naga Tasikmalaya, Using, hingga perwakilan dari Aceh. Masyarakat penghayat di daerah Cigugur memang semakin lama semakin sedikit jumlahnya, sekarang malah menjadi golongan minoritas di antara penganut-penganut agama yang diakui negara. Pada masa Orde Baru, upacara Seren Taun pernah dihentikan selama 17 tahun karena dianggap aliran sesat. Mulai tahun 1999 upacara ini mulai diadakan lagi. Seren Taun berikutnya diadakan 8—12 Januari 2007. Kekhasan Gedung Paseban Tri Panca Tunggal adalah pilar-pilar besar dengan hiasan naga dan awan pada bagian dasarnya, menyangga langit-langit yang terbuat dari kayu. Kompleks bangunannya terdiri dari beberapa bangunan dan ruang yang menghadap ke arah barat. Peletakan ini merupakan lambang perjalanan matahari, diartikan bahwa dalam pergelaran hidup ada lahir dan mati. Bangunan inti Paseban terdiri dari Ruang Jinem, Pendopo Pagelaran, Sri Manganti (bagian depan padaleman), dan Dapur Ageung. Ruang Jinem membujur arah utara-selatan. Pada masa dulu ruang ini dipakai sebagai tempat saresehan/ ceramah untuk memperdalam pengertian hidup dan kehidupan serta mengenal dan merasakan adanya cipta, rasa, dan karsa. Di Ruang Pendopo dapat ditemui banyak perlambang ajaran Kiai Madrais, seperti relief bertuliskan aksara Sunda, Purwa Wisada, yang berarti cipta dan karsa adalah ketentuan sebagai hukum kodrati. Ada pula burung garuda di atas lingkaran yang ditunjang dua ekor naga yang saling terkait, melambangkan harus adanya pengertian antara pria dan wanita dalam menghadapi hidup. Ruang Sri Manganti adalah sebagian dari ruangan Padaleman (ruang lebet) yang membujur dari utara ke selatan. Tempat ini digunakan untuk penyelenggaraan upacara-upacara pernikahan, untuk merundingkan masalah seperti persiapan upacara Seren Taun, dan memecahkan masalah-masalah keluarga. Dalam ruangan ini pula ditempatkan Bale Kancana, yakni pelaminan khusus keluarga yang pada masa dulu sebagai palinggihan. Ruang padaleman berbentuk segi empat yang di tengahnya terdapat sebuah ruangan yang merupakan bangunan tersendiri. Bangunan tengah ini merupakan ruang tempat penyimpanan buku-buku sejarah dan keagamaan dari segala agama. Dapur Ageung adalah tungku perapian terbuat dari semen yang di empat sudutnya terdapat naga bermahkota. Hal ini menggambarkan adanya perikemanusiaan (mahkota) mengatasi nafsu yang harus diarahkan dalam bimbingan kehalusan budi manusia. Adanya Dapur Ageung seringkali dijadikan alasan pihak lain menuding bahwa Kiai Madrais dan pengikutnya sebagai orang-orang penyembah api dan bersembahyang di depan api. Padahal tudingan itu sama sekali tidak beralasan. Dua kali seminggu di Paseban Tri Panca Tunggal diadakan pelatihan keterampilan menari, menembang, dan dongeng bagi siswa-siswi TK hingga SMA. Selain itu diajarkan pula pelajaran budi pekerti, hal mata pelajaran yang sudah bertahun-tahun dihilangkan dari kurikulum sekolah. Bagi ibu-ibu diajarkan membatik motif khas Cigugur, motif yang sudah lama terlupa.
Selain pada perayaan Seren Taun, pintu Paseban terbuka lebar bagi masyarakat yang ingin berkunjung. Baik itu sekadar melihat-lihat fisik gedung, memancing, belajar membatik, atau berdiskusi dengan Djatikusumah. Keramahan Djatikusumah dan keluarga membuat perbincangan yang berjam-jam terasa singkat. Apalagi sambil ditemani suguhan kampung berupa labu rebus, ubi rebus, pisang goreng, serta secangkir kopi di tengah kesejukan angin Gunung Ciremai saat senja. Sumber : ruyukcengal