JAKARTA

 
INDEX
BIOSKOP METROPOLE
GEREJA IMMANUEL JAKARTA
GEREJA TUGU
HOTEL DES INDES
MENARA SYAHBANDAR
MUSEUM SUMPAH PEMUDA
STASIUN JAKARTA KOTA
GEDUNG MH THAMRIN
GEDUNG JOANG’45
MUSEUM NASIONAL INDONESIA


BIOSKOP METROPOLE

Bioskop Metropole XXI 2010

Bioskop Metropole di Kota Jakarta adalah sebuah gedung bioskop bersejarah yang dibangun pada tahun 1932 dengan nama Bioscoop Metropool, sesuai dengan ejaan bahasa Belanda pada waktu itu.

Latar belakang
Bioskop yang terletak di sudut Jalan Pegangsaan dan Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat dan berkapasitas 1.700 penonton ini adalah salah satu bioskop terbesar dan tertua di Jakarta yang masih bertahan hingga sekarang. Pada 1951, gedung dan lahan seluas 11.623m² ini dimiliki oleh PT Bioskop Metropole.

Pada 1960, Presiden Soekarno memerintahkan penggantian semua nama yang berbau asing, karena itu Bioskop Metropool pun berganti nama menjadi Bioskop Megaria.

Pada 1989 gedung bioskop ini disewakan oleh PT Bioskop Metropole kepada jaringan 21 Cineplex, yang mengubah rancangan dalam gedung itu sehingga menjadi 6 bioskop mini dengan kapasitas tempat duduk sektiar 50 kursi setiap ruangannya. Namanya pun sempat berubah menjadi Megaria 21.

Cagar budaya Jakarta
Pada 1993, Gubernur DKI Jakarta melalui SK No. 475 menyatakan Bioskop Metropole sebagai Bangunan Cagar Budaya Kelas A yang dilindungi dan tak boleh dibongkar.

Penjualan gedung
Pada awal 2007, tersiar berita bahwa gedung bioskop ini akan dijual. Lahan dan bangunannya ditawarkan dengan harga Rp 15 juta per m² atau total sekitar Rp 151,099 milyar.

Namun belum sempat hal tersebut terealisasi, bioskop Megaria 21 kini telah mengalami sejumlah pembaharuan, dan namanya diubah menjadi Metropole XXI.

Bioskop Megaria (1960-80)

Kompleks Metropole
Selain sebuah bioskop di kompleks ini juga terdapat sejumlah pertokoan dan restoran. Perusahaan 21 Cineplex juga memiliki XXI Garden Cafe yang terletak di gedung ini. Penyewa lainnya termasuk arena biliar, pangkas rambut, restoran pempek, restoran masakan China, dan restoran ayam bakar Solo. Di belakang gedung ini terdapat pula sebuah bioskop kecil dengan dua ruang pertunjukan, serta sebuah gedung yang disewakan sebagai pasar swalayan.

Pranala luar
Bioskop Megaria, Bioskop Tua yang Akan Dijual
http://id.wikipedia.org/wi



GEREJA IMMANUEL JAKARTA
Gereja Immanuel

Gereja Immanuel awalnya adalah gereja yang dibangun atas dasar kesepakatan antara umat Reformasi dan Umat Lutheran di Batavia.

Pembangunannya dimulai tahun 1834 dengan mengikuti hasil rancangan J.H. Horst. Pada 24 Agustus 1835, batu pertama diletakkan. Empat tahun kemudian, 24 Agustus 1839, pembangunan berhasil diselesaikan.

Bersamaan dengan itu gedung ini diresmikan menjadi gereja untuk menghormati Raja Willem I, raja Belanda pada periode 1813-1840. Pada gedung gereja dicantumkan nama WILLEMSKERK.

Gereja bergaya klasisisme itu bercorak bundar di atas fondasi tiga meter. Bagian depan menghadap Stasiun Gambir. Di bagian ini terlihat jelas serambi persegi empat dengan pilar-pilar paladian yang menopang balok mendatar. Paladinisme adalah gaya klasisisme abad ke-18 di Inggris yang menekan simetri dan perbandingan harmonis.

Gereja Immanuel (ca.1875-85)

Serambi-serambi di bagian utara dan selatan mengikuti bentuk bundar gereja dengan membentuk dua bundaran konsentrik, yang mengelilingi ruang ibadah. Lewat konstruksi kubah yang cermat, sinar matahari dapat menerangi seluruh ruangan dengan merata. Menara bundar atau lantern yang pendek di atas kubah dihiasi plesteran bunga teratai dengan enam helai daun, simbol Mesir untuk dewi cahaya.

Orgel yang dipakai berangka tahun 1843, hasil buatan J. Datz di negeri Belanda. Sebelum organ terpasang, sebuah band tampil sebagai pengiring perayaan ibadah. Pada 1985, orgel ini dibongkar dan dibersihkan sehingga sampai kini dapat berfungsi dengan baik.
Pranala luar
(Indonesia) Gereja Immanuel, Bangunan Bersejarah yang Mulai Kusam
(Indonesia) Wisata Gereja Tua Jakarta Menggali Memori lewat Rumah Ibadah
(Indonesia) Gereje Sion dan Gereja Immanuel Peninggalan Arsitek Indis


GEREJA TUGU
Gereja Tugu adalah salah satu gereja tertua di Indonesia terletak di Kampung Tugu, Jakarta Utara. Secara pasti tidak diketahui kapan mulai dibangun, tetapi para ahli sejarah menyimpulkan sekitar tahun 1676-1678, bersamaan dengan dibukanya sebuah sekolah rakyat pertama di Indonesia oleh Melchior Leydecker.

Pada tahun 1737 Gereja Tugu dilakukan renovasi yang pertama dibawah pimpinan pendeta Van De Tydt, dibantu oleh seorang pendeta keturunan Portugis kelahiran Lisabon yaitu Ferreira d'Almeida dan orang-orang Mardijkers.

Pada tahun 1740 gereja Tugu hancur, bersamaan dengan terjadinya peristiwa Pemberontakan Tionghoa (Cina Onlusten) dan pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia, pada masa Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier yang berkuasa di Batavia pada tahun 1737–1741.

Kemudian pada tahun 1744 atas bantuan seorang tuan tanah Justinus Vinck gereja ini dibangun kembali, dan baru selesai pada 29 Juli 1747 yang kemudian diresmikan pada tanggal 27 Juli 1748 oleh pendeta J.M. Mohr.

Sampai saat ini gereja tersebut masih berdiri dan berfungsi sebagai "GPIB Tugu", walaupun di berbagai sudut sudah banyak yang harus diperbaiki karena faktor usia. Gereja ini tampak sederhana tetapi tampak kokoh dan rapi, dengan berisi bangku diakon antik, piring-piring logam, dan mimbar tua. Lonceng yang ada di gereja tersebut diperkirakan dibuat pada tahun 1880, karena lonceng paling tua yang dibuat 1747 sudah rusak dan disimpan di rumah pendeta di sana.


HOTEL DES INDES
Hotel des Indes tahun 1945-1948

Hotel des Indes adalah hotel yang beroperasi mulai tahun 1856 hingga tahun 1960 di Weltevreden, Batavia (Jakarta). Di hotel ini ditandatangani Perjanjian Roem Royen pada 7 Mei 1949.

Sejarah
Reinier de Klerk merupakan pemilik tanah untuk lokasi hotel ini sejak tahun 1760. Tanah dan rumah di atasnya dijual de Klerk kepada C. Postmans pada tahun 1774. Pada tahun 1824 tanah dan bangunan dibeli pemerintah untuk sekolah asrama putri. Pada tahun 1829, tanah dan bangunan di atas lokasi dibeli orang Perancis bernama Antoine Surleon Chaulan yang mendirikan sebuah hotel bernama Hotel de Provence. Pada tahun 1845, putra Etienne Chaulan mengambil alih hotel dari tangan ayahnya.

Pada tahun 1851, di bawah manajemen Cornelis Denning Hoff, hotel ini berganti nama menjadi Rotterdamsch Hotel. Pada tahun berikutnya (1852), hotel ini dibeli orang Swiss bernama François Auguste Emile Wijss yang menikah dengan keponakan perempuan dari Etienne Chaulan. Pada 1 Mei 1856, Wijjs menamakan hotel ini sebagai Hotel des Indes atas usulan Douwes Dekker.

Hotel des Indes, 1910

Pada tahun 1860, Hotel des Indes dijual Wijjs kepada orang Perancis bernama Louis George Cressonnier. Menurut Alfred Russel Wallace yang berada di Batavia pada tahun 1861[1],“Hotel des Indes sangat nyaman, setiap tamu disediakan kamar duduk dan kamar tidur menghadap ke beranda. Di beranda, tamu dapat menikmati kopi pagi dan kopi sore. ... Pada pukul sepuluh disediakan sarapan table d'hôte, dan makan malam mulai pukul enam, semuanya dengan harga per hari yang pantas.    

Setelah Cresonnier meninggal dunia pada tahun 1870, keluarganya menjual hotel ini kepada Theodoor Gallas. Pada tahun 1886, Gallas menjual hotel ini kepada Jacob Lugt yang memperluas hotel secara besar-besaran dengan cara membeli tanah di sekeliling hotel. Setelah Lugt mendapat masalah keuangan, Hotel des Indes dijadikan perseroan terbatas N.V. Hotel des Indes pada tahun 1897. Pada tahun 1903, hotel ini berada di bawah manajemen J.M. Gantvoort sebelum dikelola oleh Nieuwenhuys.

 Ruang makan Hotel des Indes

John T. McCutcheon menulis pada tahun 1910 bahwa bila dibandingkan dengan Hotel des Indes, semua hotel di Asia berada di bawahnya. Lebih lanjut, ia bercerita tentang kemewahan rijsttafel di hotel ini[2],“  Anda harus makan siang lebih awal agar ada cukup waktu untuk menikmatinya sebelum makan malam. Makan siang disajikan oleh 24 orang pelayan yang berbaris memanjang, mulai dari dapur hingga ke meja, dan kembali ke dapur dengan berbaris. ... Setiap pelayan membawa sepiring makanan berisi salah satu lauk dari keseluruhan 57 lauk pauk untuk rijsttafel. Anda mengambil sendiri lauk dengan sebelah tangan hingga lelah, lalu bergantian dengan tangan yang sebelah lagi. Ketika Anda sudah siap makan, piring anda terlihat seperti bunker di padang golf yang dipenuhi nasi.     

Setelah Indonesia merdeka, hotel ini diambil alih Pemerintah Indonesia pada tahun 1960, dan diganti namanya menjadi Hotel Duta Indonesia. Pada tahun 1971, bangunan hotel dibongkar untuk didirikan Pertokoan Duta Merlin.

Referensi
"Het beroemde Hotel des Indes in Batavia heette ooit Hotel Rotterdam, maar dankzij Multatuli...". Engelfriet.net. Diakses pada 3 Desember 2009.
^ Wallace, Alfred Russel (1869). The Malay Archipelago Volume I. (of II.). Project Gutenberg.
^ McCutcheon, John T.. In Africa: Hunting Adventures in the Big Game Country. Project Gutenberg.

Pranala luar
(Belanda) Buklet Hotel des Indes



MENARA SYAHBANDAR

Menara Syahbandar (Uitkijk) dibangun sekitar tahun 1839 yang berfungsi sebagai menara pemantau bagi kapal-kapal yang keluar-masuk Kota Batavia lewat jalur laut serta berfungsi kantor "pabean" yakni mengumpulkan pajak atas barang-barang yang dibongkar di pelabuhan Sunda Kelapa.

Menara ini sebenarnya menempati bekas bastion (kubu) Culemborg yang dibangun sekitar 1645, seiring pembuatan tembok keliling kota di tepi barat. Sebelum dibangun Menara Syahbandar, fungsi menara pemantau sudah dibangun didekat bastion Culemborg dengan bentuk "tiang menara", diatasnya terdapat "pos" bagi petugas.

Salah satu saksi bisu perkubuan Belanda adalah pintu besi di bawah Menara Syahbandar yang berupa jalan masuk ke dalam lorong bawah tanah menuju Benteng Frederik Hendrik (sekarang Masjid Istiqlal).

Sesudah masa kemedekaan, beberapa bangunan didekatnya dirobohkan untuk perluasan jalan Pakin. Bangunan ditengah antara menara dan gedung administrasi, diganti dengan Prasasti di tugu yang ditandatangani Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin tahun 1977 sebagai penanda Kilometer 0 di masa lalu.

Bertambahnya usia bangunan hingga saat ini kurang lebih 168 tahun, membuat bangunan setinggi 12 meter dengan ukuran 4x8 meter ini, secara perlahan menjadi miring sehingga kerap disebut "Menara Miring". Posisinya yang persis disisi jalan raya Pakin, dimana setiap hari padat oleh kendaraan dan tak jarang jenis kendaraan berat seperti truk kontainer, menambah beban getar disisi selatan menara. Menara ini juga disebut "Menara Goyang" karena menara ini terasa bergoyang ketika mobil melewati sekitarnya.

Pada awal April 2007, telah dilakukan perbaikan oleh Pemprov DKI Jakarta sebagai realisasi Program Revitalisasi Kota Tua yang dicanagkan sejak tahun 2006.

Menaiki tangga menara, menelusuri ruang-ruangnya, serta mencapai puncak dan memandang kapal- kapal aneka rupa di Pelabuhan Sunda Kelapa adalah daya tarik menara ini.

Sebagai bekas benteng, dilantai bawah masih terdapat ruang bawah tanah untuk perlindungan dan pintu terowongan bisa tembus hingga Fatahillah (Museum Fatahillah, dulu Stadhuis) bahkan kemungkinan hingga Masjid Istiqlal karena dulu pernah ada Benteng Frederik Hendrik. Saat ini pintu menuju terowongan sudah ditutup, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.


MUSEUM SUMPAH PEMUDA

Tampak depan dari Gedung Museum Sumpah Pemuda
Museum Sumpah Pemuda adalah sebuah museum sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang berada di Jalan Kramat Raya No. 106, Jakarta Pusat dan dikelola oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Museum ini dibuka untuk umum, setiap hari Selasa sampai dengan Jumat dari pukul 08.00 hingga 15.00 UTC+7, setiap Sabtu dan Minggu pada pukul 08.00—14.00 WIB, dan setiap hari Senin dan hari besar nasional, museum ini ditutup untuk umum.

Museum ini memiliki koleksi foto dan benda-benda yang berhubungan dengan sejarah Sumpah Pemuda 1928, serta kegiatan-kegiatan dalam pergerakan nasional kepemudaan Indonesia. Museum Sumpah Pemuda ini didirikan berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta pada tahun 1972 dan menjadi benda cagar budaya nasional.

Didirikan         20 Mei 1974
Lokasi              Jalan Kramat Raya No. 106,Jakarta Pusat, DKI JayaIndonesia
Situs web         www.museumsumpahpemuda.go.id

Sejarah
Bangunan di Jalan Kramat Raya 106, tempat dibacakannya Sumpah Pemuda, adalah sebuah rumah pondokan untuk pelajar dan mahasiswa milik Sie Kok Liong [1].

Di gedung milik Sie Kok Liong ini pernah tinggal beberapa tokoh pergerakan, seperti
Muhammad Yamin
Aboe Hanifah
Amir Sjarifuddin
A.K. Gani
Mohammad Tamzil atau Assaat dt Moeda.

Sejak 1925 gedung Kramat 106 menjadi tempat tinggal pelajar yang tergabung dalam Jong Java. Mereka kebanyakan pelajar Sekolah Pendidikan Dokter Hindia alias Stovia[2]. Aktivis Jong Java menyewa bangunan 460 meter persegi ini karena kontrakan sebelumnya di Kwitang terlalu sempit untuk menampung kegiatan diskusi politik dan latihan kesenian Jawa. Anggota Jong Java dan mahasiswa lainnya menyebut gedung ini Langen Siswo.

Sejak 1926, penghuni gedung ini makin beragam. Mereka kebanyakan aktivis pemuda dari daerahnya masing-masing. Kegiatan penghuni gedung itu juga makin beragam. Selain kesenian, mahasiswa di gedung ini aktif dalam kepanduan dan olahraga. Gedung ini juga menjadi markas Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), yang berdiri pada September 1926, usai kongres pemuda pertama. Penghuni kontrakan, dengan payung PPPI, sering mengundang tokoh seperti Bung Karno untuk berdiskusi. Para pelajar menyewa gedung itu dengan tarif 12,5 gulden per orang setiap bulan, atau setara dengan 40 liter beras waktu itu. Mereka memiliki pekerja yang mengurus rumah yang dikenal dengan nama Bang Salim.

Pemerintah Hindia-Belanda selalu mengawasi dengan ketat kegiatan rapat pemuda. Pemerintah memang mengakui hak penduduk di atas 18 tahun mengadakan perkumpulan dan rapat. Namun bisa sewaktu-waktu memberlakukan vergader-verbod atau larangan mengadakan rapat, karena dianggap menentang pemerintah. Setiap pertemuan harus mendapat izin dari polisi. Setelah itu, rapat dalam pengawasan penuh Politieke Inlichtingen Dienst (PID), semacam dinas intelijen politik. Rumah 106 ini juga selalu dalam kuntitan dinas intelijen ini, termasuk rapat ketiga Kongres Pemuda II.

Di gedung ini juga muncul majalah Indonesia Raya, yang dikelola PPPI. Karena sering dipakai kegiatan pemuda yang sifatnya nasional, para penghuni menamakan gedung ini Indonesische Clubhuis, tempat resmi pertemuan pemuda nasional. Sejak 1927, mereka memasang papan nama gedung itu di depan. Padahal Gubernur Jenderal H.J. de Graff sedang menjalankan politik tangan besi.

Kegiatan pemuda dialihkan ke Jalan Kramat 156 setelah para penghuni Kramat 106 tidak melanjutkan sewanya pada 1934. Gedung itu lalu disewakan kepada Pang Tjem Jam sebagai tempat tinggal pada 1937-1951. Setelah itu, gedung disewa lagi oleh Loh Jing Tjoe, yang menggunakannya sebagai toko bunga dan hotel. Gedung Kramat 106 disewa Inspektorat Bea dan Cukai untuk perkantoran pada 1951 - 1970.[3]

Pada 1968, Sunario berprakarsa mengumpulkan pelaku sejarah Sumpah Pemuda, dan meminta kepada Gubernur DKI mengelola dan mengembalikan gedung di Kramat Raya 106 milik Sie Kong Liang yang telah berganti-ganti penyewa dan pemilik kepada bentuknya semula. Tempat ini disepakati menjadi Gedung Sumpah Pemuda, tetapi usulan mengganti nama jalan Kramat Raya menjadi jalan Sumpah Pemuda belum tercapai.[4]

Gedung Kramat 106 sempat dipugar Pemda DKI Jakarta 3 April-20 Mei 1973 dan diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 20 Mei 1973 sebagai Gedung Sumpah Pemuda. Gedung ini kembali diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20 Mei 1974. Dalam perjalanan sejarah, Gedung Sumpah Pemuda pernah dikelola Pemda DKI Jakarta, dan saat ini dikelola Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.[5]

Koleksi dan Tata Pameran
Koleksi
Sebagai museum khusus, koleksi museum ini terdiri dari koleksi yang berhubungan dengan peristiwa Sumpah Pemuda. Pada tahun 2007, keseluruhan koleksi berjumlah 2.867 koleksi, dimana koleksi utamanya adalah Gedung Kramat 106 yang merupakan tempat direncanakan dan dilaksanakannya Kongres Pemuda Kedua, 27 – 28 Oktober, 1928. Gedung ini terbagi atas bangunan utama dan paviliun. Bangunan utama terdiri atas serambi depan, satu ruang tamu, 5 kamar, dan satu ruang terbuka atau ruang rapat. Sedangkan bangunan paviliun memiliki 2 kamar.

Koleksi dari museum ini antara lain:
Foto kegiatan organisasi pemuda, sebanyak 2.117 koleksi.
Bendera organisasi, sebanyak 35 koleksi.
Stempel, sebanyak 11 koleksi
Biola Wage Rudolf Supratman, sebanyak 1 koleksi
Patung dada tokoh pemuda, sebanyak 8 koleksi.
Patung tokoh pemuda, sebanyak 11 koleksi.
Perlengkapan pandu, sebanyak 9 koleksi.
Jaket angkatan 1966, sebanyak 2 koleksi.
Kursi, sebanyak 5 koleksi.
Lukisan, sebanyak 4 koleksi.
Vespa, sebanyak 1 koleksi.
Diorama, sebanyak 1 koleksi.
Pahatan marmer, sebanyak 3 koleksi.
Monumen persatuan pemuda, sebanyak 1 koleksi.
Lampu gantung, sebanyak 2 koleksi.
Maket gedung museum sumpah pemuda, sebanyak 1 koleksi.
Duratran, sebanyak 3 koleksi.
Buku saku KBI, sebanyak 1 koleksi.
Pewarta IPINDO, sebanyak 4 koleksi.
Naskah statemen perjuangan 66, sebanyak 90 koleksi.
Statemen perjuangan 66, sebanyak 50 koleksi.
Dokumen perjuangan 66, sebannyak 18 koleksi.
Buletin KAPPI, sebanyak 60 koleksi.
Dokumen Brigade Ade Irma, sebanyak 104 koleksi.
Proses persiapan dan pelaksanaan musyawarah luar biasa dan up-grrading se-Indonesia, sebanyak 23 koleksi.
KAPPI Djaja Menteng Radja, Djakarta, sebanyak 23 koleksi.
KAPI Komisariat Diponegoro 80, Djakarta Raya, sebanyak 8 koleksi.
Sambutan gubernur kepala daerah khusus ibukota Djakarta dalam memperingat “Brigadi Merah” Ade Irma, sebanyak 17 koleksi.
KAPI Jaya Salemba Raya Djakarta, sebanyak 62 koleksi.
KAMI pusat Djakarta, sebanyak 43 koleksi.
Statemen angkatan 66 kesatuan AKSI di Jakarta, sebanyak 8 koleksi.
Kesatuan AKSI "KAPPI" pusat Djakarta Utara, sebanyak 20 koleksi.
Kesatuan AKSI buruh PN Sabang Merauke Djakarta, sebanyak 16 koleksi.
Buletin KAMI kons Bandung dan Bogor Djakarta 1967, sebanyak 13 koleksi.
KAMI Medan – Sumatera Utara, sebanyak 8 koleksi.
KAMI konsultan – Yogyakarta, sebanyak 5 koleksi.
Anggaran dasar KAMI, sebanyak 24 koleksi.
Inventarisasi statemen angkatan 66, sebanyak 13 koleksi.
Piringan hitam, sebanyak 1 koleksi.
Piagam penghargaan Wage Rudolf Supratman, sebanyak 2 koleksi.
Atlas sekolah zaman Belanda, sebanyak 1 koleksi.
Sabuk Hizbul Wathan, sebanyak 1 koleksi.
Bintang Mahaputra, sebanyak 1 koleksi.
Replika biola Wage Rudolf Supratman, sebanyak 1 koleksi.

Tata pameran
Koleksi yang dimiliki oleh museum ini dipamerkan dalam ruang pameran tetap dengan penataan yang mengikuti kronologis peristiwa Sumpah Pemuda dengan harapan dapat menggambarkan untaian peristiwa Sumpah Pemuda.

Lokasi Kongres Pemuda Indonesia Kedua, dulu dan sekarang

Penataan pamerannya adalah sebagai berikut:

Ruang pengenalan
Ruangan ini terletak di bagian depan gedung, persis di pintu masuk utama. Di ruangan ini dipamerkan
Peta Indonesia tempat kedudukan dari organisasi-organisasi-organisasi pemuda kedaerahan
Peta Jakarta yang menunjukkan tempat-tempat dilaksanakannya kongres pemuda kedua dan kondisinya saat ini.
Panitia Kongres Pemuda Kedua
Patung dada Muhammad Yamin dan Sugondo Djojopuspito
Organisasi peserta kongres pemuda
Maket Gedung Sumpah Pemuda

Di ruangan depan ini juga masih mempergunakan lantai ubin asli yang berasal dari zaman Belanda yang sekarang sudah cukup jarang ditemui di Jakarta.

Galeri ruang pengenalan

Ruang pertumbuhan organisasi kepemudaan

Ruang ini terletak di bagian depan gedung sejajar dengan ruang pengenalan. Ruang ini dapat dimasuki dari ruang pengenalan dengan memasuki pintu yang terletak di sebelah kiri.

Dalam ruangan ini digambarkan masa pertumbuhan awal organisasi pemuda yang diawali dengan Perhimpunan Indonesia di Belanda. Di ruangan ini dipamerkan kegiatan pergerakan pemuda, antara lain:
Perhimpunan Indonesia
Jong Java
Jong Sumatranen Bond
Pemuda Kaum Betawi
Jong Islamieten Bond dan
Kepanduan atau INPO

Dalam ruangan ini pula dapat ditemukan realia berupa peralatan pandu yang dipergunakan pada tahun 1920-an.

Ruang Kongres Pemuda Indonesia Pertama

Dari ruangan diatas, kita dapat masuk langsung ke ruang ini yang letaknya bersebelahan. Dalam ruangan ini dipamerkan koleksi yang berkaitan dengan Kongres Pemuda Indonesia Pertama, seperti:
Foto peserta Kongres Pemuda Indonesia Pertama
Foto kegiatan selama Kongres Pemuda Indonesia Pertama
Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia
Partai Nasional Indonesia
Cupllikan pidato pada saat Kongres Pemuda Indonesia Pertama
Bendera pandu yang berwarna merah putih yang berasal dari tahun 1928

Monumen Persatuan Pemuda 1928 yang berada pada halaman dalam museum

Ruang Kongres Pemuda Indonesia Kedua
Ruangan ini terletak persis begitu kita keluar dari ruang Kongres Pemuda Indonesia Pertama. Di ruangan ini dipamerkan koleksi yang menggambarkan peristiwa Kongres Pemuda Indonesia Kedua, seperti:
Minirama Kongres Pemuda Indonesia Kedua
Suasana sidang ketiga Kongres Pemuda Indonesia Kedua
Biola Wage Rudolf Soepratman
Maklumat panitia kongres dam putusan Kongres Pemuda Indonesia Kedua

Ruang Indonesia Muda
Di dalam ruangan ini disajikan beberapa koleksi yang berhubungan dengan pergerakan pemuda setelah diikrarkannya Sumpah Pemuda, seperti:
Vandel Indonesia Muda
Foto komisi besar Indonesia Muda
Foto kegiatan Indonesia Muda

Ruang PPPI
Ruangan ini menyajikan beberapa koleksi yang berhubungan dengan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia, setelah Kongres Pemuda Indonesia Kedua. Ruangan ini juga memamerkan koleksi yang berhubungan dengan pergerakan pemuda melalui partai politik.

Ruang Tematik
Ruangan ini terdiri atas dua ruangan, terletak di paviliun Gedung Kramat 106. Ruangan ini menyajikan beberapa koleksi yang berhubungan dengan aktivitas pemuda pada tahun 1945, 1966 dan 1998.

Rujukan
^ Gedung Sumpah Pemuda dan Sie Kok Liong, Suara Pembaruan
^ Buku Panduan Museum Sumpah Pemuda
^ Jejak Samar Bapak Kos, Majalah Tempo, 27 Oktober 2008
^ Kebangsaan Sunario, Majalah Tempo 27, Oktober 2008
^ Museum Sumpah Pemuda Bekas Kos, Pemersatu Bangsa

Pranala luar
Situs resmi Museum Sumpah Pemuda



STASIUN JAKARTA KOTA

Stasiun Kota (1929). Foto koleksi Tropenmuseum, Amsterdam.

Stasiun Kereta Api Jakarta Kota (kode: JAKK), dikenal pula sebagai Stasiun Beos adalah stasiun kereta api yang berusia cukup tua di Kota Tua Jakarta dan ditetapkan oleh Pemerintah Kota sebagai cagar budaya. Stasiun ini adalah satu dari sedikit stasiun di Indonesia yang bertipe terminus (perjalanan akhir), yang tidak memiliki kelanjutan jalur.

Keberadaannya pada saat ini diributkan karena hendak direnovasi dengan penambahan ruang komersial. Padahal, stasiun ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, selain bangunannya kuno, stasiun ini merupakan stasiun tujuan terakhir perjalanan. Seperti halnya Stasiun Surabaya Kota atau Stasiun Semut di Surabaya yang merupakan cagar budaya, namun terjadi renovasi yang dinilai kontroversial.

Sejarah
Pada masa lalu, karena terkenalnya stasiun ini, nama itu dijadikan sebuah acara oleh stasiun televisi swasta. Hanya saja mungkin hanya sedikit warga Jakarta yang tahu apa arti Beos yang ternyata memiliki banyak versi.

Yang pertama, Beos kependekan dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij (Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur), sebuah perusahaan swasta yang menghubungkan Batavia dengan Kedunggedeh. Versi lain, Beos berasal dari kata Batavia En Omstreken, yang artinya Batavia dan Sekitarnya, dimana berasal dari fungsi stasiun sebagai pusat transportasi kereta api yang menghubungkan Kota Batavia dengan kota lain seperti Bekassie (Bekasi), Buitenzorg (Bogor), Parijs van Java (Bandung), Karavam (Karawang), dan lain-lain.

Bagian dalam Stasiun Jakarta Kota

Sebenarnya, masih ada nama lain untuk Stasiun Jakarta Kota ini yakni Batavia Zuid yang berarti Stasiun Batavia Selatan. Nama ini muncul karena pada akhir abad ke-19, Batavia sudah memiliki lebih dari dua stasiun kereta api. Satunya adalah Batavia Noord (Batavia Utara) yang terletak di sebelah selatan Museum Sejarah Jakarta sekarang. Batavia Noord pada awalnya merupakan milik perusahaan kereta api Nederlandsch-Indische Spoorweg, dan merupakan terminus untuk jalur Batavia-Buitenzorg. Pada tahun 1913 jalur Batavia-Buitenzorg ini dijual kepada pemerintah Hindia Belanda dan dikelola oleh Staatsspoorwegen. Pada waktu itu kawasan Jatinegara dan Tanjung Priok belum termasuk gemeente Batavia.

Batavia Zuid, awalnya dibangun sekitar tahun 1870, kemudian ditutup pada tahun 1926 untuk renovasi menjadi bangunan yang kini ada. Selama stasiun ini dibangun, kereta api-kereta api menggunakan stasiun Batavia Noord. Sekitar 200 m dari stasiun yang ditutup ini dibangunlah Stasiun Jakarta Kota yang sekarang. Pembangunannya selesai pada 19 Agustus 1929 dan secara resmi digunakan pada 8 Oktober 1929. Acara peresmiannya dilakukan secara besar-besaran dengan penanaman kepala kerbau oleh Gubernur Jendral jhr. A.C.D. de Graeff yang berkuasa pada Hindia Belanda pada 1926-1931.

Di balik kemegahan stasiun ini, tersebutlah nama seorang arsitek Belanda kelahiran Tulungagung 8 September 1882 yaitu Frans Johan Louwrens Ghijsels. Bersama teman-temannya seperti Hein von Essen dan F. Stolts, lelaki yang menamatkan pendidikan arsitekturnya di Delft itu mendirikan biro arsitektur Algemeen Ingenieur Architectenbureau (AIA). Karya biro ini bisa dilihat dari gedung Departemen Perhubungan Laut di Medan Merdeka Timur, Rumah Sakit PELNI di Petamburan yang keduanya di Jakarta dan Rumah Sakit Panti Rapih di Yogyakarta.

Stasiun Beos merupakan karya besar Ghijsels yang dikenal dengan ungkapan Het Indische Bouwen yakni perpaduan antara struktur dan teknik modern barat dipadu dengan bentuk-bentuk tradisional setempat. Dengan balutan art deco yang kental, rancangan Ghijsels ini terkesan sederhana meski bercita rasa tinggi. Sesuai dengan filosofi Yunani Kuno, kesederhanaan adalah jalan terpendek menuju kecantikan.

Masa kini
Stasun Jakarta Kota akhirnya ditetapkan sebagai cagar budaya melalui surat keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475 tahun 1993. Walau masih berfungsi, di sana-sini terlihat sudut-sudut yang kurang terawat. Keberadaannya pun mulai terusik dengan adanya kabar mau dibangun mal di atas bangunan stasiun. Demikian pula kebersihannya yang kurang terawat, sampah beresrakan di rel-rel kereta. Selain itu, banyak orang yang tinggal di samping kiri kanan rel di dekat stasiun mengurangi nilai estetika stasiun kebanggaan ini. Pihak KA sendiri seolah-olah tidak memperhatikan hal ini.

Rumah sinyal T1 (utara)

Kereta Api
Gumarang: Ke SBI
Sembrani: Ke SBI
Gajayana: Ke ML
Tegal Arum: Ke TG
Serayu: Ke KYA
GBMS: Ke SGU
Banex: Ke MRK
Kamandanu : ke SMT Via Jalur Utara|Pantura
http://id.wikipedia.org/




 
GEDUNG MH THAMRIN

Gedung MH Thamrin

Gedung Mohammad Hoesni Thamrin adalah sebuah museum sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang berada di Jalan Kenari II No. 15, Jakarta Pusat. Museum ini memiliki koleksi foto reproduksi, radio dan barang-barang milik, serta kepustakaan tentang kiprah perjuangan Mohammad Hoesni Thamrin dalam pergerakan nasional Indonesia.

Muhammad Hoesni Thamrin adalah anak wedana Tabri Thamrin yang pernah bekerja di kantor kepatihan Batavia serta menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat). Karena perjuangannya membela rakyat, beliau ditangkap oleh pemerintah Belanda dan menjadi tahanan rumah sampai saat wafatnya pada tanggal 11 Januari 1941.

Referensi
Buku petunjuk singkat Museum Gedung Mohammad Hoesni Thamrin


GEDUNG JOANG’45

Gedung Joang 45
Gedung Joang '45 atau Museum Joang 45 adalah salah satu museum yang berada di Jakarta. Saat ini pengelolaannya dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. Museum ini terletak di Jalan Menteng Raya 31, Kelurahan Kebon Sirih, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Museum ini diresmikan pada tahun 1974 oleh Presiden Soeharto, setelah dilakukan direnovasi.

Sejarah Bangunan
Masa Pendudukan Belanda
Gedung yang dibangun pada sekitar tahun 1920-an yang saat ini dipergunakan sebagai Museum Joang 45 ini pada mulanya adalah hotel yang dikelola oleh keluarga “L.C. Schomper”, seorang berkebangsaan Belanda yang sudah lama tinggal di Batavia. Hotel ini diberi nama Schomper sesuai nama pemiliknya. Hotel tersebut saat itu termasuk yang cukup baik dan terkenal di kawasan pinggiran Selatan Batavia, dengan bangunan utama yang berdiri megah di tengah dan diapit deretan bangunan kamar-kamar penginapan di sisi kiri dan kanannya untuk menginap para tamu.

Bangunan kamar penginapan yang tersisa saat ini tinggal beberapa yang ada di sisi utara gedung utama, saat ini dipergunakan sebagai ruang perpustakaan, ruang kreativitas anak (children room)dan kantor Wirawati Catur Panca.

Puisi Peluru-peluru menembus tubuhnya yang ada dalam relief di gedung Joang
Masa Pendudukan Jepang
Ketika Jepang masuk ke Indonesia (1942-1945) dan menguasai Batavia, hotel tersebut diambil alih oleh para pemuda Indonesia dan beralih fungsi sebagai kantor yang dikelola Ganseikanbu Sendenbu (Jawatan Propaganda Jepang) yang dikepalai oleh seorang Jepang, “Simizu”. Di kantor inilah kemudian diadakan program pendidikan politik yang dimulai pada tahun 1942 untuk mendidik pemuda-pemuda Indonesia dan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah Jepang.


Koleksi
Di museum ini dapat dilihat jejak perjuangan kemerdekaan RI dengan koleksi benda-benda peninggalan para pejuang Indonesia. Di antaranya adalah mobil dinas resmi Presiden dan Wakil Presiden RI Pertama yang dikenal dengan mobil REP 1 dan REP 2, dan Mobil Peristiwa Pemboman di Cikini. Selain itu ada pula koleksi foto-foto dokumentasi dan lukisan yang menggambarkan perjuangan sekitar tahun 1945-1950-an. Beberapa tokoh perjuangan ditampilkan pula dalam bentuk patung-patung dada.

Aktivitas
Museum Joang 45 terbuka untuk umum dalam aktivitasnya, pengunjung atau peserta aktivitas dapat mendaftarkan diri untuk dapat terlibat dalam aktivitas museum. Dalam hal ini Museum Joang 45 bertindak sebagai Fasilitator. Beberapa aktivitas Museum yang terus dikembangkan diantaranya: Aktivitas Reguler:
Paket Kunjungan A, Tour Museum, Pemandu, Menonton Film, Kuis Berhadiah Doorpize
Paket Kunjungan B, Peserta 20 anak (Mengenakan kostum pejuang, Tour Museum dengan Pemandu, Games Terpandu, aksi Teater, Menonton Film, Kuis Doorpize),
Paket Kunjungan C, Menonton Film Perjuangan Pilihan Pengunjung, maksimum 100 orang
Paket Kunjungan D, Kunjungan biasa, pengunjung tidak dibatasi jumlahnya

Aktivitas Temporer:
Pekan Museum Joang, terbuka untuk umum (Lomba Cedas Cermat, Lomba Puisi)
Diskusi tentang Tokoh dan Peristiwa Sejarah.
Pameran Temporer, Pameran Keliling.

Fasilitas Museum
Fasilitas yang tersedia bagi pengunjung Museum Joang '45 adalah
Ruang Pameran Tetap dan Temporer dengan pojok multi media,
Bioskop Joang 45, Studio penayangan film-film dokumenter dan film perjuangan lama.
Perpustakaan referensi sejarah ilmiah, dilengkapi komik-komik perjuangan untuk bacaan anak,
Childrenroom, ruang khusus untuk kreativitas anak dilengkapi game komputer pahlawan, mewarnai, puzzle, dan permainan knock-down,
Foto Studio, menyediakan kostum para pejuang untuk dikenakan pengunjung dan foto instan.
Souvenir Shop.
Plaza untuk aktivitas outdoor berupa Teater Anak.

Kontak Museum
Telp. (021) 390-9148, Fax (021) 392-3185
http://id.wikipedia.org/




MUSEUM NASIONAL INDONESIA 


Informasi Umum
Didirikan pada            24 April 1778[1]
Lokasi              Jl. Medan Merdeka Barat 12, Jakarta Pusat, DKI Jaya, Indonesia
Jumlah koleksi 141,899
Situsnya           http://www.museumnasional.or.id/

Museum Nasional Republik Indonesia atau Museum Gajah, adalah sebuah museum yang terletak di Jakarta Pusat dan persisnya di Jalan Merdeka Barat 12[2].

Sejarah Museum Gajah
Museum Nasional Republik Indonesia adalah salah satu wujud pengaruh Eropa, terutama semangat Abad Pencerahan, yang muncul pada sekitar abad 18. Gedung ini dibangun pada tahun 1862 oleh Pemerintah Belanda di bawah Gubernur-Jendral JCM Radermacher sebagai respons adanya perhimpunan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang bertujuan menelaah riset-riset ilmiah di Hindia Belanda. Museum ini diresmikan pada tahun 1868, tapi secara institusi cikal bakal Museum ini lahir tahun 1778, tepatnya tanggal 24 April, pada saat pembentukan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen oleh pemerintah Belanda. Radermacher menyumbang sebuah gedung yang bertempat di Jalan Kalibesar beserta dengan koleksi buku dan benda-benda budaya sehingga menjadi dasar untuk pendirian museum.

Museum Royal Batavian Society of Arts and Sciences Batavia (sekarang Museum Nasional) pada tahun 1900an

Di masa pemerintahan Inggris di bawah pimpinan Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816), yang juga berlaku sebagai Direktur dari Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen memerintahkan pembangunan gedung baru yang terletak di Jalan Majapahit No.3. Gedung ini digunakan sebagai museum dan ruang pertemuan untuk Literary Society (dahulu bernama "Societeit de Harmonie".) Gedung ini sekarang berada di kompleks Sekretariat Negara.

Di tahun 1862, setelah koleksi memenuhi museum di Jalan Majapahit, pemerintah Hindia-Belanda mendirikan gedung baru yang berlokasi di Jalan Merdeka Barat No.12. Gedung ini dibuka untuk umum pada tahun 1868.

Museum Nasional dikenal sebagai Museum Gajah sejak dihadiahkannya patung gajah perunggu oleh Raja Chulalongkorn dari Thailand pada 1871. Tetapi pada 28 Mei 1979, namanya resmi menjadi Museum Nasional Republik Indonesia. Kemudian pada 17 September 1962, Lembaga Kebudayaan Indonesia yang mengelolanya, menyerahkan Museum kepada pemerintah Republik Indonesia. Sejak itu pengelolaan museum resmi oleh Direktorat Jendral Sejarah dan Arkeologi, di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tetapi mulai tahun 2005, Museum Nasional berada di bawah pengelolaan Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.

Gedung Gajah Museum Nasional (Gedung Selatan)

Catatan di website Museum Nasional Republik Indonesia pada tahun 2001 menunjukkan bahwa koleksinya telah mencapai 109.342 buah. Jumlah koleksi itulah yang membuat museum ini dikenal sebagai yang terlengkap di Indonesia. Pada tahun 2006 jumlah koleksinya sudah melebihi 140.000 buah, tapi baru sepertiganya saja yang dapat diperlihatkan kepada khalayak.

Museum ini terletak di Jalan Merdeka Barat.

Koleksi Museum Nasional
Museum Gajah banyak mengkoleksi benda-benda kuno dari seluruh Nusantara. Antara lain yang termasuk koleksi adalah arca-arca kuno, prasasti, benda-benda kuna lainnya dan barang-barang kerajinan. Koleksi-koleksi tersebut dikategorisasikan ke dalam etnografi, perunggu, prasejarah, keramik, tekstil, numismatik, relik sejarah, dan benda berharga.

Halaman Dalam dari arah Timur

Sebelum gedung Perpustakaan Nasional RI yang terletak di Jalan Salemba 27, Jakarta Pusat didirikan, koleksi Museum Gajah termasuk naskah-naskah manuskrip kuno. Naskah-naskah tersebut dan koleksi perpustakaan Museum Gajah kini disimpan di Perpustakaan Nasional.

Sumber koleksi banyak berasal dari penggalian arkeologis, hibah kolektor sejak masa Hindia Belanda dan pembelian. Koleksi keramik dan koleksi etnografi Indonesia di museum ini terbanyak dan terlengkap di dunia. Museum ini merupakan museum pertama dan terbesar di Asia Tenggara.

Koleksi yang menarik adalah Patung Bhairawa patung yang tertinggi di Museum Nasional dengan tinggi 414 cm ini merupakan manifestasi dari Dewa Lokeswara atau Awalokiteswara, yang merupakan perwujudan Boddhisatwa (pancaran Buddha) di bumi. Patung ini berupa laki-laki berdiri diatas mayat dan deretan tengkorak serta memegang cangkir dari tengkorak di tangan kiri dan keris pendek dengan gaya Arab ditangan kanannya, ditemukan di Padang Roco, Sumatra Barat. Diperkirakan patung ini berasal dari abad ke 13 - 14. Koleksi arca Buddha tertua di Museum ini berupa arca Buddha Dipangkara yang terbuat dari perunggu, disimpan dalam ruang perunggu dalam kotak kaca tersendiri, berbeda nasibnya dengan arca Buddha, arca Hindu tertua di Nusantara, yaitu Wisnu Cibuaya (sekitar 4M) terletak di ruang arca batu tanpa teks label dan terhalang oleh arca Ganesha dari candi Banon.

Pemeliharaan Koleksi
Pada 1960an, pernah terjadi pencurian koleksi emas yang dilakukan oleh kelompok pimpinan Kusni Kasdut. Pada 1979 terjadi pula pencurian koleksi uang logam. Pada 1987 beberapa koleksi keramik senilai Rp. 1,5 milyar. Dan pada 1996 pencurian lukisan yang bisa ditemukan kembali di Singapura.

Hal ini menyadarkan pengelola bahwa keamanan adalah faktor penting untuk menjaga koleksi. Karena itu museum dilengkapi dengan alarm, kamera pengaman, dan 17 petugas keamanan.

Kondisi koleksi dijaga dengan ketat dengan usaha konservasi. Terutama adalah koleksi dari kertas yang butuh penanganan hati-hati. Seringkali bagian koleksi yag rusak diganti dengan bahan tiruan. Meskipun hal ini mengurangi otentisitas, tetapi tetap mempertimbangkan sisi estetika dan bentuk asli karya yang dikonservasi. Sering pula ditemui usaha rekonstruksi untuk mengganti koleksi yang rusak parah.

Secara umum, hal ini memperlihatkan sikap umum museum di kebanyakan wilayah Asia yang lebih mengutamakan restorasi daripada menjaga ontentisitas.

Pariwisata
Referensi
Situs resmi Museum Nasional
Artikel resmi Museum Nasional dari Departemen Pendidikan Nasional
^ http://www.museumnasional.or.id
http://id.wikipedia.org/