JAKARTA


 
INDEX
WELTEVREDEN
JALAN PEGANGSAAN TIMUR NO. 56
MUSEUM SASMITALOKA JENDERAL BESAR DR AH NASUTION
MUSEUM SASMITA LOKA A YANI
KAMPUNG TUGU
MUSEUM TAMAN PRASASTI
MUSEUM TEKSTIL



WELTEVREDEN

 Peta Batavia tahun 1888

Weltevreden (bahasa Belanda yang berarti dalam suasana tenang dan puas) adalah daerah tempat tinggal utama orang-orang Eropa di pinggiran Batavia, Hindia-Belanda yang berjarak kurang lebih 10 kilometer dari Batavia lama ke arah selatan. Letaknya kini di sekitar Sawah Besar, Jakarta Pusat yang membentang dari RSPAD Gatot Subroto hingga Museum Gajah. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), nama Weltevreden merujuk kepada hampir seluruh daerah Jakarta Pusat sekarang.

Sejarah
Zaman VOC
Pada tahun 1648 pemerintah koloni VOC memberikan sebidang tanah kepada Anthonij Paviljoun. Kemudian Paviljoun mengembangkan rumah-rumah peristirahatan kecil yang dinamainya Weltevreden.

Pemilik tanah Paviljoun berikutnya adalah Cornelis Chastelein, seorang anggota Dewan Hindia (1693). Ia termasuk orang pertama di Indonesia yang berusaha mengembangkan sebuah perkebunan kopi di tengah-tengah kota Jakarta saat ini dengan memanfaatkan budak-budak yang diambilnya dari Bali. Pada 1733, Justinus Vinck membeli sebagian tanah Weltevreden dan membuka dua pasar besar, yakni Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang. Pada tahun 1735, ia menghubungkan kedua pasar tersebut dengan sebuah jalan, yang sekarang disebut Jl. Prapatan dan Jl. Kebon Sirih yang juga merupakan jalur penghubung timur-barat pertama di Jakarta Pusat kini.

Pemilik berikutnya, Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1704-1761), membangun rumah mewah di tikungan Ciliwung. Mossel juga menggali Kali Lio untuk memudahkan sekoci kecil mengangkut kebutuhan pasar. Pada 1767, rumah Weltevreden dibeli Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra. Tanah itu kemudian dijual kembali pada Gubernur Jenderal VOC terakhir, Pieter Gerardus van Overstraten. Sejak masa itu, Weltevreden menjadi kedudukan resmi gubernur jenderal dan pemerintahannya.

Zaman Hindia Belanda
Pada tahun 1809 Gubernur Jendral Herman Willem Daendels mendirikan Paleis van Daendels atau disebut juga Het Groote Huis. Istana ini dirancang Kolonel J.C.Schultze, namun bangunan ini baru dapat diselesaikan pada 1826 dan 1828 oleh insinyur Tromp atas perintah Pejabat Gubernur Jenderal Du Bus de Ghisignies. Istana yang besar dan megah itu ditempati oleh Departemen Keuangan Hindia Belanda sampai masa pendudukan Jepang, sebelum akhirnya menjadi kantor Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Untuk latihan militernya, Daendels mengalokasikan lapangan Buffelsveld (lapangan kerbau) yang kini menjadi Lapangan Monumen Nasional. Lapangan itu juga biasa disebut Champs de Mars. Sesudah masa kuasa sementara Inggris (1818), lapangan itu diberi nama baru lagi, yakni Koningsplein (lapangan raja). Lapangan itu dikelilingi oleh Museum Gajah, Istana Merdeka, serta Stasiun Weltevreden (sekarang Stasiun Gambir). Pada tahun 1821 didirikan di Theater Schouwburg Weltevreden, yang sekarang disebut Gedung Kesenian Jakarta.

Pada tahun 1937, pemerintah kolonial mengesahkan sebuah rencana induk kota Batavia dengan Koningsplein (Lapangan Monas) sebagai pusatnya. Rencana induk itu sendiri merupakan tindak lanjut dari dikukuhkannya Undang-Undang Desentralisasi tahun 1903 dan berbagai ordonansi tentang kewenangan lokal dalam pengaturan kota. Berbagai prasarana kota dalam skala makro pun mulai digarap. Saluran pengendali banjir (banjir kanal) mulai dibangun dari Karet-Tanah Abang terus ke laut. Pembangunan Banjir Kanal telah direncanakan sejak 1870, tidak lama setelah Batavia dilanda banjir besar dan baru selesai pada tahun 1920. Sementara itu, rel kereta api juga mulai dikembangkan. Dimulai dengan jalur tengah dan timur, kemudian ditambah jalur barat melalui Manggarai - Tanah Abang - Duri - Kota.

Referensi
Situs Resmi Badan Perencanaan Kotamadya Jakarta Pusat
http://id.wikipedia.org/



JALAN PEGANGSAAN TIMUR NO. 56

Jalan Pegangsaan Timur No. 56 merupakan letak bekas kediaman presiden pertama Indonesia, Soekarno yang berada di Jakarta Pusat. Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dikumandangkan di sini.

Jalan Pegangsaan Timur telah berganti nama menjadi Jalan Proklamasi. Kediaman Bung Karno yang dijadikan tempat pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan pun sudah tidak ada lagi dan digantikan dengan kehadiran tugu Proklamasi yang dahulu pernah dibongkar atas perintah Bung Karno, dan di situ kemudian didirikan Gedung Pola Pembangunan Semesta. Di lokasi itu juga kini berdiri patung Sukarno-Hatta yang menggambarkan suasana pembacaan teks Proklamasi pada tahun 1945 itu.
http://id.wikipedia.org/



MUSEUM SASMITALOKA
JENDERAL BESAR DR AH NASUTION

Tampak depan Museum Sasmitaloka Jenderal Besar DR. A.H. Nasution

Didirikan         3 Desember, 2008
Lokasi Jalan Teuku Umar No. 40,
Jakarta Pusat, DKI Jaya Indonesia
Jenis    Museum Pahlawan Nasional

Museum Abdul Haris Nasution atau tepatnya Museum Sasmitaloka Jenderal Besar DR. Abdul Haris Nasution[1] adalah salah satu museum pahlawan nasional yang terletak di jalan Teuku Umar No. 40, Jakarta Pusat, DKI Jaya, Indonesia. Museum ini terbuka untuk umum dari hari Selasa hingga hari Minggu, dari pukul 08:00 hingga pukul 14:00 WIB. Setiap hari Senin museum ini ditutup untuk umum.

Sejarah
Museum ini semula adalah kediaman pribadi dari Pak Nasution yang ditempati bersama dengan keluarganya sejak menjabat sebagai KSAD tahun 1949 hingga wafatnya pada tanggal 6 September 2000. Selanjutnya keluarga Nasution pindah rumah pada tanggal 29 Juli, 2008 sejak dimulainya renovasi rumah pribadi tersebut menjadi museum.

Di kediaman ini Jenderal Besar DR. Abdul Haris Nasution telah menghasilkan banyak karya juang yang dipersembahkan bagi kemajuan bangsa dan negaranya.

Di tempat ini pulalah pada tanggal 1 Oktober, 1965 telah terjadi peristiwa dramatis yang hampir merenggut nyawa Jenderal Besar DR. Abdul Haris Nasution. Pasukan Tjakrabirawa G-30S/PKI berupaya menculik dan membunuh beliau, namun hal ini gagal dilakukan. Dalam peristiwa tersebut, putri kedua beliau, Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Kapten Anumerta Pierre Andreas Tendean gugur.

Museum Nasional Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution diresmikan pada hari Rabu, 3 Desember, 2008 sore (bertepatan dengan hari kelahiran Pak Abdul Haris Nasution), oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Museum seluas 2.000 meter persegi tersebut, merupakan prasasti hidup dan kehidupan Jenderal Besar A.H. Nasution dan keluarga. ”Semoga museum ini akan menjadi mata air yang mengalirkan kiprah, memberikan arah, mengajak kebijakan dalam bertindak, berkelana untuk menemukan makna bagi generasi muda negeri ini. Mata air yang menumbuh suburkan keadilan kuantitatif dan kualitatif,” kata Bu Nas[2].

Dalam sambutannya, Presiden SBY mengatakan bahwa monumen sejarah ini akan menjadi kebanggaan para prajurit TNI serta bangsa Indonesia. ”Saya pahami, bahwa tentu tidak semua lintasan dan jejak pengabdian Nasution bisa diabadikan di museum ini. Tetapi, paling tidak ada tonggak-tonggak penting yang dapat dilihat oleh generasi muda kita, dan generasi muda TNI yang akan melanjutkan perjuangan bangsa,” SBY menambahkan[2].

Presiden SBY juga bercerita mengenai kekagumannya akan almarhum. ”Pak Nas memiliki pemikiran-pemikiran yang brilian. Beliau juga memiliki kepedulian yang tinggi pada pendidikan dan dunia pengetahuan. Buku karya Pak Nas yang berjudul Tentara Nasional Indonesia, Pokok-Pokok Perang Gerilya dan Sekitar Perang Kemerdekaan, telah menjadi buku favorit dan telah dibaca berkali-kali oleh Presiden SBY. Presiden kemudian menekan tombol sirene dan penandatanganan prasasti sebagai tanda peresmian Museum Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution[2].

Dalam acara peresmian museum tersebut, juga dilakukan penyerahan Koleksi Museum Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution oleh Ibu Johana Sunarti Nasution, berupa Pita Tanda Jasa dan Penyerahan Kunci Monumen dan Museum PETA oleh Bapak Himawan Sutanto kepada Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Agustadi Sasongko Purnomo.

Rujukan
^ Keterangan mengenai museum ini di situs Dinas Sejarah TNI AD
^ a b c Peresmian Museum Jenderal Besar DR. Abdul Haris Nasution oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono

Pranala luar
Keterangan mengenai museum ini di situs Dinas Sejarah TNI AD
http://id.wikipedia.org/



MUSEUM SASMITA LOKA A YANI

Tampak depan dari gedung museumnya

Lokasi  Jalan Lembang No. 58, Jakarta Pusat, DKI Jaya, Indonesia
Jenis    Museum Pahlawan Nasional

Museum Sasmita Loka Ahmad Yani adalah salah satu museum pahlawan nasional yang terletak di jalan Lembang No. 58 dan jalan Laruharhari No. 65, Jakarta Pusat, DKI Jaya, Indonesia. Museum ini terbuka untuk umum dari hari Selasa hingga hari Minggu, dari pukul 08:00 hingga pukul 14:00 WIB. Setiap hari Senin museum ini ditutup untuk umum.

Sejarah
Dibangun sekitar tahun 1930 - 1940an pada saat pengembangan wilayah Menteng dan Gondangdia, semula gedung ini dipergunakan sebagai rumah tinggal pejabat maskapai swasta Belanda/Eropa[1]. Pada tahun 1950-an dikelola oleh Dinas Perumahan Tentara, kemudian dihuni oleh Letjen Ahmad Yani sebagai perwira tinggi TNI AD dengan jabatan terakhir Menteri / Panglima Angkatan Darat RI.

Rumah ini menjadi tempat bersejarah karena Letjen A. Yani dibunuh dan diculik oleh gerombolan PKI pada tanggal 30 September, 1965, yang kemudian dikenal dengan peristiwa pemberontakan G-30S/PKI, sebelum akhirnya sekarang dijadikan museum.

Rujukan
^ Museum Sasmita Loka Ahmad Yani di situs Jakarta go id
http://id.wikipedia.org/


KAMPUNG TUGU
Kampung Tugu adalah wilayah di pinggir Batavia yang diperuntukan oleh pemerintah Hindia Belanda bagi para Mardijkers yang telah dibebaskan dari tawanan perang. Saat ini daerah Kampung Tugu termasuk dalam wilayah Kecamatan Koja, Jakarta Utara.

Keberadaan kampung Tugu tidak dapat dipisahkan oleh peran Melchior Leydekker, doktor dalam ilmu kedokteran dan teologia yang datang ke Hindia Belanda pada tahun 1675 untuk ditempatkan di Batavia, sebagai menantu dari Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck, yang berkuasa di Hindia Belanda pada tahun 1709–1713, ia memperoleh sebidang tanah di wilayah Tugu.

Kampung Tugu dapat dikatakan sebagai kampung Kristen tertua di seluruh Indonesia bagian Barat, hal ini jelas karena keberadaan mereka di wilayah tersebut, adalah suatu upaya pihak Belanda untuk memerdekakan Mardijkers dengan syarat harus berpindah agama dari Katolik menjadi Protestan, dan pada saat itu memang belum ada komunitas Kristen selain mereka, masyarakat lain khususnya komunitas Islam yang sudah ada di wilayah sekitar itu, menyebut mereka dengan istilah Serani atau berasal dari kata Nasrani, dan oleh orang-orang Belanda mereka dijuluki Inheemsche Christenen atau yang berarti umat kristen pribumi, karena pada saat itu dalam perspektif orang-orang Belanda, masyarakat Tugu di golongkan dalam kelompok masyarakat pribumi yang tinggal jauh diluar kota Batavia. Di sini kemudian dibagngun Gereja Tugu.

Pranala luar
(Indonesia) Masyarakat Tugu, Komunitas Keturunan Portugis di Pinggiran Jakarta
(Indonesia) Batavia, Riwayatmu Dulu
http://id.wikipedia.org/



MUSEUM TAMAN PRASASTI
  
Museum Taman Prasasti adalah sebuah museum cagar budaya peninggalan masa kolonial Belanda yang berada di Jalan Tanah Abang No. 1, Jakarta Pusat. Museum ini memiliki koleksi prasasti nisan kuno serta miniatur makam khas dari 27 propinsi di Indonesia, beserta koleksi kereta jenazah antik. Museum seluas 1,2 ha ini merupakan museum terbuka yang menampilkan karya seni dari masa lampau tentang kecanggihan para pematung, pemahat, kaligrafer dan sastrawan yang menyatu.

Pekuburan orang Eropa di Tanah Abang (litografi oleh Josias Cornelis Rappard, 1881-1889)

Sejarah
Semula Museum Taman Prasasti yang terletak di Jl. Tanah Abang I ini adalah pemakaman umum bernama Kebon Jahe Kober seluas 5,5 ha dan dibangun tahun 1795 untuk menggantikan kuburan lain di samping gereja Nieuw Hollandsche Kerk, sekarang Museum Wayang, yang sudah penuh. Makam baru ini menyimpan koleksi nisan dari tahun sebelumnya karena sebagian besar dipindahkan dari pemakaman Nieuw Hollandse Kerk pada awal abad 19. Nisan yang dipindahkan ini ditandai dengan tulisan HK, Hollandsche Kerk.

Pada tanggal 9 Juli 1977, pemakaman Kebon Jahe Kober dijadikan museum dan dibuka untuk umum dengan koleksi prasasti, nisan, dan makam sebanyak 1.372 yang terbuat dari batu alam, marmer, dan perunggu. Karena perkembangan kota, luas museum ini kini menyusut tinggal hanya 1,3 ha saja.
Koleksi

Tanda HK disertai nomor merupakan petunjuk beberapa nisan yang merupakan pindahan dari pemakaman Gereja Belanda di Kota Tua (sekarang Museum Wayang)

Di museum ini dihimpun berbagai prasasti dari zaman Belanda dan sebelumnya serta makam beberapa tokoh Belanda, Inggris dan Indonesia atau Hindia Belanda seperti:
A.V. Michiels (tokoh militer Belanda pada perang Buleleng)
Dr. H.F. Roll (Pendiri STOVIA atau Sekolah Kedokteran pada zaman pendudukan Belanda)
J.H.R. Kohler (tokoh militer Belanda pada perang Aceh)
Olivia Marianne Raffles (istri Thomas Stamford Raffles, mantan Gubernur Hindia Belanda dan Singapura)
Kapitan Jas, makamnya diyakini sebagian orang dapat memberikan kesuburan, keselamatan, kemakmuran dan kebahagiaan.
Miss Riboet, tokoh opera pada tahun 1930-an
Soe Hok Gie, aktivis pergerakan mahasiswa pada tahun 1960-an

Waktu Buka
Museum buka Selasa - Minggu dari pukul 09.00 - 15.00 WIB. Dengan tiket masuk berkisar antara Rp 1.000 hingga Rp 2.000. Senin dan Hari Besar tutup.

Rujukan
Buku petunjuk pariwisata dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, DKI.
Historical Sites of Jakarta. A Heuken SJ. Penerbit Cipta Loka Caraka. Jakarta: 2007


MUSEUM TEKSTIL

Museum Tekstil, Tampak Muka
Museum Tekstil menempati gedung tua di Jalan K.S. Tubun / Petamburan No. 4 Tanah Abang, Jakarta Pusat
Gedungnya sendiri pada mulanya adalah rumah pribadi seorang warga negara Perancis yang dibangun pada abad ke-19. Kemudian dibeli oleh konsul Turki bernama Abdul Azis Almussawi Al Katiri yang menetap di Indonesia. Selanjutnya tahun 1942 dijual kepada Dr. Karel Christian Cruq.
Di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, gedung ini menjadi markas Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan tahun 1947 didiami oleh Lie Sion Pin. Pada tahun 1952 dibeli oleh Departemen Sosial dan pada tanggal 25 Oktober 1975 diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta yang untuk kemudian pada tanggal 28 Juni 1976 diresmikan penggunaannya oleh Ibu Tien Soeharto sebagai Museum Tekstil.
http://id.wikipedia.org/