JATENG PATI


eks Karesidenan Pati:
Kabupaten Jepara
Kabupaten Pati
Kabupaten Kudus
Kabupaten Rembang
Kabupaten Blora
Kabupaten Grobogan
Kecamatan Cepu

I. KAB JEPARA

1. BENTENG PORTUGIS
Benteng Portugis, adalah sebuah benteng peninggalan sejarah yang terdapat di desa Banyumanis yang berdekatan dengan desa Ujung Batu, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Konon benteng tersebut diperkirakan dibangun Pemerintah Mataram pada tahun 1613-1645 sebagai pusat pertahanan untuk menghalau musuh yang datang dari Laut Jawa.

Saat ini Benteng Portugis merupakan salah satu tempat wisata unggulan di Kabupaten Jepara. Lokasi benteng tersebut juga berdekatan dengan Pulau Mandalika.

2. BENTENG VOC
Benteng VOC atau Fort Jepara lebih dikenal oleh masyarakat Jepara sebagai Lodji Gunung diperkirakan dibangun pada abad XVI Masehi oleh Belanda yang mengatasnamakan kepentingan penguasa Jepara pada masa itu.[1]

Letak
Benteng ini terletak di sebuah bukit sekitar 0,5 km arah utara alun-alun Jepara dengan ketinggian 85 meter dari permukaan laut (mdpl). Di sebelah timur terdapat kompleks makam kuno yang berisi makam orang-orang Cina dan Belanda. Terdapat pula Taman Makam Pahlawan Giri Dharma. Gerbang masuk lokasi benteng dibuat cukup megah bertuliskan "Fort Japara XVI".

Keindahan
Dari tembok benteng sebelah barat, kita dapat memandang teluk Jepara yang sangat Indah sampai Tome Pires bilang semua pelabuhan dunia yang telah di singgahi Pelabuhan Jepara yang di lindungi teluk yang indah . dan selain itu kita bisa melihat kemegahan Stadion Gelora Bumi Kartini yang menjadi kebanggaan masyarakat Jepara. Tempat ini cukup representative untuk wahana rekreasi keluarga khususnya warga kota Jepara dan sekitarnya karena baik di dalam maupun di luar benteng dipenuhi taman buatan. Bahkan di depan gerbang sebelah kiri terhampar taman buah yang berisi tanaman mangga, belimbing, jambu, bahkan sukun.

Fasilitas
Kawasasan Benteng
Hotspot Area
Taman Buah

Catatan kaki
^ http://www.ticjepara.com/2010/07/benteng-voc.html

3. MUSEUM KARTINI
Gedung Museum Kartini
Foto Seputar jepara.com.

Museum Kartini adalah museum yang terletak di kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Museum ini didirikan pada 30 Maret 1975 pada masa pemerintahan Bupati Soemarno Djojomardowo sementara peresmiannya dilakukan pada 21 April 1977 oleh Bupati Soedikto.[1] Museum ini terdiri dari 3 buah gedung yang dibangun di atas area seluas 5.210 m2 yang apabila dilihat dari atas gedung - gedung tersebut berbentuk huruf K,T, dan N yang merupakan singkatan dari KARTINI.[1]
Museum ini menyiman benda - benda peninggalan R.A. Kartini dan kakaknya, RMP Sosrokartono serta benda - benda kuno yang ditemukan di wilayah Kabupaten Jepara.[2] Penyajian ruang koleksi dibagi menjadi empat ruang:[2]
Ruang pertama yang merupakan badan gedung K digunakan untuk koleksi peninggalan R.A. Kartini yang berupa benda - benda serta foto semasa hidupnya.
Ruang kedua yang merupakan bagian dari kaki gedung K berisi peninggalan RMP Sosrokartono.
Ruang ketiga digunakan untuk penyajian benda - benda bersejarah dan purbakala yang ditemukan di wilayah Jepara serta hasil kerajinan Jepara yang terkenal seperti batik troso, anyaman bambu dan rotan.
Ruang keempat merupakan gedung T yang berisi tulang ikan raksasa bernama Ikan Joko Tua Jenisnya adalah Paus Gajah, yaitu ikan Paus yang punya belalai yang ditemukan di perairan Kepulauan Karimunjawa.
Referensi
^ a b Sejarah museum, wisatamelayu. Diakses pada 26 Juli 2011
^ a b Museum Kartini Jepara, MuseumIndonesia. Diakses pada 26 Juli 2011

4. MONUMEN ARI ARI KARTINI
Monumen Ari-Ari Kartini adalah tempat plasenta Kartini yang terdapat di Desa Pelemkerep , Kecamatan Mayong , Jepara.

Penjelasan
Kartini[1] dilahirkan di sebuah di Desa Pelemkerep , Kecamatan Mayong , Jepara. Dia lahir ketika ayahnya masih menjabat sebagai Wedana. Sayang rumah asli tempat Kartini di lahirkan sudah di bongkar habis. Yang tersisa hanya sebuah sumur dan lokasi ari-ari atau potongan tali pusar yang ditanam. Sekarang, di tempat ari-ari (plasenta) ditanam dibangun monumen disebut Monumen Ari-Ari Kartini.

Fenomena
Dulu ada orang Surabaya yang buta bermimpi ditemui seseorang, dan di suruh ke Sumur yang letaknya dekat dengan Monumen Ari-ari Kartini, setelah dia mencuci muka dengan air dari sumur yang dulu dipakai mandinya Kartini. Orang tersebut bisa melihat dengan normal.

Fasilitas
Sumur Kartini
Hotspot Area
Pohon Besar

Catatan kaki

5. MASJID MANTINGAN 
Tampak depan dari Masjid Mantingan.

Masjid Mantingan adalah sebuah masjid kuno di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Masjid ini konon didirikan pada masa Kesultanan Demak dan menyandang tanggal 1481 Tahun Jawa atau 1559-1560 Masehi.
Didirikan dengan lantai tinggi ditutup dengan ubin bikinan Tiongkok, dan demikian juga dengan undak-undakannya. Semua didatangkan dari Makao. Bangunan atap termasuk bubungan adalah gaya Tiongkok. Dinding luar dan dalam dihiasi dengan piring tembikar bergambar biru, sedang dinding sebelah tempat imam dan khatib dihiasi dengan relief-relief persegi bergambar margasatwa, dan penari penari yang dipahat pada batu cadas kuning tua. Pengawasan pekerjaan pembangunan masjid ini tak lain daripada Babah Liem Mo Han.
Salah satu ciri masjid ini adalah reliefnya. Beberapa di antaranya memiliki pola tanaman yang membentukkan rupa makhluk hidup, sehingga tidak dapat dikatakan melanggar larangan agama Islam. Di dalam komplek masjid terdapat makam Sultan Hadlirin, suami dari Kanjeng Ratu Kalinyamat dan menantu Sultan Trenggono, penguasa Demak yang terakhir. Selain itu terdapat pula makam waliullah Mbah Abdul Jalil, yang disebut-sebut sebagai nama lain Syekh Siti Jenar.

Gambaran Umum
Masjid dan Makam Mantingan terletak 5 km arah selatan dari pusat kota Jepara di desa Mantingan kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara, sebuah yang menyimpan Peninggalan Kuno Islam dan menjadi salah satu asset wisata sejarah di Jepara, dimana di sana berdiri megah sebuah masjid yang dibangun oleh seorang Islamik yaitu PANGERAN HADIRI suami Ratu Kalinyamat yang dijadikan sebagai pusat aktivitas penyebaran agama islam di pesisir utara pulau Jawa dan merupakan masjid kedua setelah masjid Agung Demak. Gerbang Masuk area Masjid Mantingan (Wisata Jepara) Perlu diketahui juga bahwa di desa Mantingan mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Islam dengan mata penghasilan dari usaha ukir-ukiran. Disamping itu lokasi Masjid dan Makam Mantingan berdiri dalam satu komplek yang mudah dijangkau dengan kendaraan roda empat dari berbagai jurusan dengan fasilitas sarana jalan aspal. Hal lain yang tidak kalah penting usaha Pemda Kabupaten Jepara dengan instansi terkait bekerja sama dengan pengusaha angkutan sudah berupaya memberikan kemudahan transportasi menuju lokasi Obyek Wisata Sejarah ini dengan sarana angkutan jurusan Terminal Jepara – Mantingan yang hanya ditempuh beberapa menit saja.

Sejarah dan Legenda
Masjid Mantingan (Wisata Jepara)Diatas telah disebutkan bahwa Masjid Mantingan merupakan masjid kedua setelah masjid agung Demak, yang dibangun pada tahun 1481 Saka atau tahun 1559 Masehi berdasarkan petunjuk dari condo sengkolo yang terukir pada sebuah mihrab Masjid Mantingan berbunyi “RUPO BRAHMANA WANASARI” oleh R. Muhayat Syeh Sultan Aceh yang bernama R. Toyib. Pada awalnya R. Toyib yang dilahirkan di Aceh ini menimba ilmu ketanah suci dan negeri Cina (Campa) untuk dakwah Islamiyah, dan karena kemampuan dan kepandaiannya pindah ke tanah Jawa (Jepara) R. Toyib kawin dengan Ratu Kalinyamat (Retno Kencono) putri Sultan Trenggono Sultan kerajaan Demak, yang akhirnya beliau mendapak gelar “SULTAN HADIRI” dan sekaligus dinobatkan sebagai Adipati Jepara (Penguasa Jepara) sampai wafat dan dimakamkan di Mantingan Jepara.
Gerbang masuk Makam Mantingan (Wisata Jepara)Dimakam inilah Pangeran Hadiri (Sunan Mantingan), Ratu Kalinyamat, Patih Sungging Badarduwung seorang patih keturunan cina yang menjadi kerabat beliau Sultan Hadiri bernama CIE GWI GWAN dan sahabat lainnya disemayankan.
Makam yang selalu ramai dikunjungi pada saat “KHOOL” untuk memperingati wafatnya Sunan Mantingan berikut upacara “ GANTI LUWUR “ (Ganti Kelambu) ini diselenggarakan setiap satu tahun sekali pada tanggal 17 Robiul Awal sehari sebelum peringatan Hari Jadi Jepara. Makam Mantingan sampai sekarang masih dianggap sakral dan mempunyai tuah bagi masyarakat Jepara dan sekitarnya. Pohon pace yang tumbuh disekitar makam, konon bagi Ibu-ibu yang sudah sekian tahun menikah belum di karunia putra diharapkan sering berziarah ke Makam Mantingan dan mengambil buah pace yang jatuh untuk dibuat rujak kemudian dimakan bersama suami istri, maka permohonannya insyaAllah akan terkabulkan.
Makam Sunan Mantingan (Wisata Jepara)Tuah lain yang ada dalam cungkup makam mantingan adalah “AIR MANTINGAN atau AIR KERAMAT” yang menurut kisahnya ampuh untuk menguji kejujuran seseorang dan membuktikan hal mana yang benar dan yang salah, biasanya bagi masyarakat Jepara dan sekitarnya air keramat ini digunakan bila sedang menghadapi suatu sengketa, dengan cara air keramat ini diberi mantra dan doa lalu di minum. Namun karena beragamnya kepercayaan masyarakat, maka silahkan bagi yang percaya dan tidak memaksa untuk yang lain.

6. MASJID AGUNG BAITUL MAKMUR
Masjid Agung Jepara 1660

Masjid Agung Baitul Makmur Jepara terletak di Desa Kauman, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara. Masjid Agung Jepara terletak di sebelah selatan Alun-alun kota Jepara tepatnya Desa Kauman, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara.

Sejarah
Masjid Agung Jepara di bangun pada masa Pangeran Arya Jepara, Pangeran Arya Jepara adalah anak angkat dari Ratu Kalinyamat. Masjid Agung Jepara di bangun ketika perpindahan pusat pemerintahan Kerajaan Kalinyamat dari Kota Kalinyamat ke Jepara.

Gambaran Umum
Masjid Agung Jepara 1936

Dulu Masjid[1] ini semuanya berbahan dasar kayu jati, namun setelah di rehab dan diperbesar bangunan ini konstruksinya berubah menjadi beton dan berdinding tembok seperti masjid modern saat ini. Namun demikian beberapa bagian bangunan masih menyisakan kekunoannya dengan menggunakan kayu sebagai bahan bangunannya. Sebagai contoh ruang masjid bagian depan plafonnya terbuat dari kayu jati lembaran yang dipolitur berkilat. Begitu pula tiang atau soko gurunya, meski terbuat dari dari beton namun bagian luar dililit oleh kayu dan diukir . Sehingga jika kita sholat di dalam masjid ini nuansa kekunoannya akan terasa sekali.

Bagian lain yang bernuansakan ukiran kayu adalah plafon serambi luar yang jika kita lihat dari bawah akan terlihat bentuk ukiran yang indah, kayu-kayu besar berukir bisa kita lihat dari bawah dengan jelas. Ukirannyapun beragam ada yang bernuansakan bunga-bunga seperti ukiran asli Jepara, namun ada pula yang berbentuk khot atau tulisan arab yang dapat kita lihat dibagian pintu dan jendela. Khusus untuk pengimaman juga berlapiskan kayu berukir serta dipolitur sehingga indah dilihat.

Masjid Agung Jepara 2001

Bagi siapapun yang belum pernah shalat atau mengunjungi masjid ini dan kebetulan singgah ke kota Jepara anda bisa datang ke masjid ini melihat keindahan ukirannya . Selain itu ada fasilitas Hot Spot di seputaran Masjid Agung Jepara ini , sehingga jika anda membawa Laptop atau HP anda bisa berinternet ria di taman sebelah utara Masjid Agung. Selain melihat keindahan Masjid dan shalat bersama , juga bisa beristirahat santai di Taman sebelah masjid Agung yang setiap sorenya tiada sepi dari pengunjung.

7. MASJID JAMI’BAITURROHMAN I ROBAYAN
Masjid Jami' Baiturrohman I Robayan merupakan salah satu masjid tua di Jepara, yang berada di Robayan. Masjid Jami' Baiturrohman I terdapat di Jalan Raya Gotri-Welahan KM 1, tepatnya di Desa Robayan, Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara.
Masjid[1] ini di bangun oleh Pembabat hutan yang sekarang menjadi Desa Robayan sekaligus pendiri desa Robayan yaitu Mbah Roboyo. Masjid ini pernah di bom oleh Meriam Belanda, tetapi Bomnya tidak mampu meledakan Masjid tetapi malah meleset ke Pasar Kerajaan Kalinyamat, yang sekarang pasar yang dibom tersebut di berinama Kutha Bedhah (Kota Meledak). Walaupun sekarang sudah di renovasi dan bentuk awalnya sudah tidak kelihatan lagi, tetapi ada yang tidak di ubah dan dibiarkan masih seperti aslinya yaitu pada Gapura Masjid. bentuk GAPURA pada Masjid Jami' Baiturrohman I Robayan yang menggambarkan bentuk akulturasi Arsitektur Hindu -Islam. Gapura Masjid tersebut terdapat piring-piring cina, kemungkinan dulu Mbah Roboyo mendapatkan piring tersebut sebagai hadiah dari Saudagar cina. Dulu pernah ada mitos, ketika jalan raya di depannya mau di perlebarkan. gapura harus di bongkar, tetapi setelah di ukur ulang tiba-tiba gapura seolah-olah bergeser, sehingga tidak menghalangi perlebaran jalan.

Mimbar Masjid
Masjid ini pun mempunyai Mimbar untuk Khotbah, yang menurut cerita orang-orang tua dahulu Mimbar tersebut di buat oleh seorang wali yang sekaligus membangun Masjid Jami’ Baiturrohman I Robayan. Dahulu pintu masjid sempit dan kecil, seorang wali tersebut membuat Mimbar Khotbah di luar Masjid. Setelah Mimbar Jadi, ternyata ukurannya lebih tinggi dan besar daripada pintu masjid, Tetapi Wali tersebut bisa memasukan lewat pintu tersebut dengan mudahnya dan dapat di letakkan di bagian utama Masjid.

8. KELENTENG HIAN THIAN SIANG TEE

Kelenteng Hian Thian Siang Tee yang ada di Desa Welahan, Kecamatan Welahan, Jepara disebut-sebut sebagai pemuja Dewa Langit (Kongco Hian Thian Siang Tee) pertama di Indonesia.(33) - SM/Irawan Aryanto
Kelenteng Welahan yang diberi nama “ Hian Thian Siang Tee “[1] terletak 24 km kearah selatan dari pusat kota Jepara, di Desa Welahan Kecamatan Welahan Kabupaten Jepara, sebuah Desa yang menyimpan peninggalan kuno Tiongkok dan menjadi salah satu aset wisata sejarah di Jepara, dimana berdiri megah 2 buah kelenteng yang dibangun seorang tokoh pengobatan dari Tiongkok bernama Tan Siang Hoe bersama dengan kakaknya bernama Tan Siang Djie. Untuk menuju Obyek Wisata Sejarah ini didukung dengan berbagai prasarana diantaranya jalan beraspal dapat menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat atau angkutan umum yang lain, karena lokasi Obyek tersebut berdekatan dengan pasar Welahan . Pada tahun 1830 dimana Gubernur Jendral Belanda yaitu Johanes Graaf Van Bosch berkuasa di Indonesia, yang pada waktu itu disebut penjajahan Hindia Belanda, datanglah seorang Tionghoa totok dari Tiongkok bernama Tan Siang Boe. Kepergiannya dari Tiongkok menuju ke Asia Tenggara tersebut perlu mencari saudara tuanya bernama Tan Siang Djie di Indonesia. Sewaktu berangkat dari Tiongkok bersamaan dalam satu perahu yang ada di dalamnya seorang Tasugagu “ Pendeta “ dimana Tasu tersebut habis bersemedi dari Pho To San di wilayah daratan Tiongkok, merupakan suatu tempat dimana pertapaan dari paduka menteri/ kaisa “ Hian Thian Siang Tee “. Ditengah perjalanan tasu tersebut jatuh sakit, dengan rasa kesetia kawanan dan saling tolong menolong sesama manusia sehingga Tan Siang Hoe merawatnya dengan bekal obat – obatan yang dibawanya dari Tiongkok, ia dapat menyembuhkan penyakit yang diderita Tasugagu tersebut. Dengan rasa berterima kasih atas kesembuhannya, sewaktu Tasu tersebut mendarat di Singapura memberikan tanda mata ucapan terima kasih kepada Tan Siang Boe berupa satu kantong “ semacam tas “ yang berisi barang – barang pusaka kuno Tiongkok yang terdiri dari : sehelai sien tjiang “kertas halus bergambar Paduka Hian Thiam Siang Tee”, sebilah po kiam “pedang Tiongkok”, satu hio lauw “tempat abu”, dan satu jilid tjioe hwat “buku pengobatan / ramalan”. Setelah Tan Siang Boe tiba di Semarang, menginap di rumah perkumpulan “Kong Kwan” memperoleh keterangan bahwa saudara tuanya / kakaknya ada di daerah Welahan Jepara, maka beliau pergi untuk menjumpai Tan Siang Djie di tempat tersebut. Di sana beliau dapat berjumpa dengan saudara tuanya yang masih mondok berkumpul dalam satu rumah dengan keluarga Liem Tjoe Tien. Rumah tersebut masih ada terletak di Gang Pinggir Welahan dan rumah itu sampai sekarang dipergunakan tempat buat menyimpan pusaka kuno “klenteng”sebagai tempat pemujaan dan dihormati oleh setiap orang Tionghoa yang mempercayainya, setelah beberapa waktu lamanya, Tan Siang Boe menetap dengan kakaknya di Welahan, maka pada suatu hari pergilah ia bekerja di lain daerah, sedangkan barang yang berisi pusaka kuno tersebut dititipkan kepada kakaknya. Mengingat keselamatan akan barang-barang titipan tersebut maka oleh Tan Siang Djie barang tersebut dititipkan kepada pemilik rumah Liem Tjoe Tien yang selalu disimpan di atas loteng dari rumah yang didiami. Pada waktu itu, pada umumnya masih belum mengetahui barang pusaka apakah gerang yang tersimpan di atas loteng itu. Selama dalam penyimpanan di atas loteng tersebut setiap tanggal tiga yaitu hari lahir “sha gwe” yakni hari Imlex Seng Tam Djiet dari Hian Thiam Siang Tee, keluarlah daya ghaib dari barang pusaka tersebut mengeluarkan cahaya api seperti barang terbakar, sewaktu-waktu keluarlah ular naga dan kura-kura yang sangat menakjubkan bagi seisi rumah. Dengan kejadian itu dipanggilah Tan Siang Boe yang semula menitipkan barang tersebut untuk kembali ke Welahan guna mebuka pusaka yang tersimpan di dalam kantong tersebut. Setelah dibuka dan diperlihatkan kepada orang-orang seisi rumah sambil menuturkan tentang asal mula barang tersebut sehingga ia dapat memiliki pusaka kuno Tiongkok. Dengan adanya asal mula pusaka tersebut maka orang-orang seisi rumah mempunyai kepercayaan bahwa pusaka kuno itu adalah wasiat peninggalan dari Paduka Hian Thiam Siang Tee maka dipujanya menurut adapt leluhur. Pada suatu hari Lie Tjoe Tien sakit keras dan penyakitnya dapat disembuhkan kembali dengan kekuatan ghaib yang ada di pusaka, dengan kejadian itu maka dari percakapan mulut ke mulut oleh banyak orang sehingga pusaka itu dikenal namanya, dihormati, dan dipuja puja oleh orang yang mempercayainya hingga sekarang.
Menurut keterangan bahwa satu-satunya pusaka Tiongkok yang pertama kali di Indonesia yang dibawa oleh Tan Siang Boe pusaka tersebut yang tersimpan di Welahan sehingga ada perkataan lain bahwa keberadaan klenteng di Welahan adalah yang paling tua di Indonesia. Dengan keberadaan klenteng yang berada di Welahan bukan hanya didominasi keturunan Tionghoa saja tetapi juga pribumi yang berdatangan dari berbagai kota maupun propinsi untuk memohon pengobatan, tanya nasib, jodoh, bercocok tanam, serta mohon maju dalam usahanya, dan sebagainya
Catatan kaki

9. CANDI BUBRAH
Candi Bubrah terdapat di desa Tempur, Kecamatan Tempur, Kabupaten Jepara.

Lokasi
Berjarak sekitar 2 km ke arah puncak[1], Candi Bubrah bisa dilihat berada di sisi kiri jalur pendakian. Bangunan ini terdiri dari dua kelompok. Satu kelompok di bagian yang lebih rendah, dan satu kelompok lagi berada di bagian yang lebih tinggi. Sedangkan Candi Angin sendiri, dengan bentuk dan karakter yang sama seperti candi Bubar berada di puncak.

Didirikan
’’Dilihat dari bentuk dan bahan yang digunakan, besar kemungkinan candi ini dibuat pada zaman sebelum Candi Borobudur dibagun. Dari susunan batu, jelas ini buatan manusia pada zaman lampau. Untuk maksud apa, ini yang perlu diteliti,’’ ujar Kasi Budaya dan Pendidikan Luar Sekolah, P dan K Jepara, Wendar Arinugroho, saat meninjau langsung situs bersejarah ini
Catatan kaki

10. CANDI ANGIN
Candi Angin[1] terdapat di desa Tempur, Kecamatan Tempur, Kabupaten Jepara.

Etimologi
Kepercayaan orang sekitar bahwa candi tersebut untuk peribadatan dan karena letaknya yang tinggi hingga roboh terkena angin, sampai akhirnya dinamakan “Candi Angin”.

Lokasi
Legenda Candi angin berkembang di Dukuh Petung, Desa Tempur, Kec. Keling, Kab. Jepara. Menurut Bapak Arifin di sana ada yang mbaurekso (menjaga), namanya mbah Sungkar (Alm).

Sejarah
Menurut para penelitian Candi Angin lebih tua dari pada Candi Borobudur, Candi Angin di sinyalir adalah peninggalan Kerajaan Kalingga. Bahkan ada yang beranggapan kalau candi ini buatan manusia purba di karenakan tidak terdapat ornamen-ornamen Hindu-Budha.

Cerita Legenda
Sejarah peninggalan para raja dan temuan-temuan dari batu.yang dulunya untuk peribadatan, diperkirakan karena terlalu tinggi hingga akhirnya menjadi bubar karena terkena angin, dan hilang sama sekali yang kemudian ditemukannya kembali peninggalan hingga ditemukan kembali candi tersebut. Kepercayaan orang sekitar bahwa candi tersebut untuk peribadatan dan karena letaknya yang tinggi hingga roboh terkena angin, sampai akhirnya dinamakan “Candi Angin”. Bagi masyarakat candi tersebut tidak memberikan kesan atau keuntungan tertentu karena mayoritas penduduk setempat beragama Islam, hanya saja kadang digunakan orang untuk bertapa atau ritual tertentu. Sebuah organisasi meneliti dan menemukan hal-hal gaib candi tersebut yang diperkirakan sudah berumur ratusan tahun ketika kerajaan Islam muncul. Candi masih tetap utuh ada tempat yang tertinggi dan terendah. Bangunan candi angin tidak punya aturan tertulis. Apabila ada orang luar ke candi tersebut pertama masuk bangunan bawah yang terdiri dari dua bangunan tertutup, yang kemudian baru ke atas. Karena di sana ada 3 tempat, yaitu yang tertinggi, tengah, dan yang paling rendah. Dahulu candi angin angin adalah candi bubar atau hancur, yang kemudian ditemukannya petilasan atau peninggalan berupa benda-benda purbakala, dan di candi yang bubar tersebut orang memohon/minta permohonan, di perkuburan arum wangi, wayang (semar) yang memindah-mindah ke adiyasa (adiyasa itu di desa tempur ini), kamiyasa juga ada di situ, kemudian ada kamiratamu, konclang saleh janoko, sukirman Masyarakat menganggap Candi Angin sebagai barang peninggalan purbakala, misalnya berupa punden berundak yang di dalamnya ada sumur batu di mana pada musim hujan tidak terendam dan pada musim kemarau tidak kering, tetapi orang tidak tahu di mana sumbernya dikuras tiap minggu masih tetap penuh airnya, itu peninggalan zaman Hindu sebelum kedatangan Islam. Masyarakat disekitar mungkin ada kaitannya dengan candi tersebut yakni, di desa ini tidak ada orang yang kaya atau terlalu kaya dan juga tidak ada orang yang miskin atau terlalu miskin bahkan sampai kekurangan karena di desa ini dilindungi oleh pandawa lima yang ada di candi angin yang membuat desa selalu tenteram dan damai ketika ada kerusuhan di mana-mana, masyarakat Desa Tempur tidak emosi atau tepancing dan tenang-tenang saja. Hal ini sesuai dengan sifat pendawa lima dalam cerita wayang yang tidak pernah membuat kisruh dan hidup saling bebrayan (bersama) dan gotong royong. Zaman dulu, candi tersebut sering digunakan untuk musyawarah pemuda karena pada zaman perjuangan dulu belum dibentuk organisasi atau tatanan desa seperti sekarang. Peninggalan tubak, berbentuk lesung seperti lesung yang mempunyai dua lubang, yang berisi air yang tidak pernah surut di musim kemarau dan tidak tenggelam di musim hujan, kadar air relatif sama. Ketika dikuras, air tersebut kembali lagi seperti semula. Masyarakat menganggap petilasan ini sebagai peninggalan masyarakat tubak zaman purbakala. Di sini sering muncul ular kecil yang kemudian menjelma mejadi keris, tetapi tidak bisa diambil.

Cara Masuk Kedalam Candi
Ritual yang biasa dilakukan:
Untuk masuk ke dalam candi harus minum air kelapa muda dan untuk masuk kuburan sembojo harus membawa minyak dan juga 3 jenis kembang telon.
Untuk masuk ke dalam candi juga ada pantangan yang harus dipatuhi yaitu buang air kecil dan besar tidak boleh di perempatan. Pernah ada kejadian ketika seseorang melanggar pantangan orang tersebut menjadi lumpuh.
Apabila kita mengeluh kecapekan biasanya ada hal-hal yang tidak diinginkan.
Orang yang memohon sesuatu dan terwujud ia akan kembali lagi kesitu membawa “ketupat lepet” sebaga tanda terima kasih.

Apabila ada permohonan/semedinya memohon sesuatu, apabila ada hewan yang datang seperti ular besar/harimau, orang tersebut diminta untuk tidak mengganggu/gentar karena hewan-hewan tersebut sebenarnya hanya perwujudan dari penunggu dan hanya menguji orang tersebut karena pernah orang melihat perwujudan itu dan makhluk itu hanya menggangu tidak berefek pada penyakit.

Perencanaan
Pemkab Jepara rencananya akan menambahkan wahana Kolam renang, Restoran, Penginapan, dan perkebunan Apel, Strawberry.
Catatan kaki